SYARAT PENDAYAGUNAAN WAKAF
>> Sabtu, 27 Februari 2010
PERSYARATAN UMUM UNTUK PENDAYAGUNAAN HARTA WAKAF
Karena aktivitas pendayagunan harta, sebagaimana biasanya, akan menemui dua hal, keuntungan atau kerugian; dan mayoritas kegiatan pendayagunaan harta, baik yang dilakukan oleh Negara ataupun badan usaha milik Negara, jika tidak sampai rugi berat maka keadaannya tidak seperti yang diharapkan dan tidak pula mencapai keadaan istimewa; dan karena harta wakaf adalah termasuk harta ummat yang memiliki fungsi social umum; harta wakaf memiliki sifat-sifat khusus yang tidak sama dengan harta manusia pada umumnya, maka kami memandang bahwa pandangan para fuqaha (ulama ahli fiqih) yang mulia, seluruhnya mengatakan tidak bolehnya mem-posting harta wakaf dalam program pendayagunaan dalam sektor usaha jika hasilnya kecil atau tidak sebanding dengan nilai harta wakaf itu sendiri.
Oleh karena itu, seluruh fuqaha mensyaratkan kegiatan pendayagunaan harta wakaf dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Memilih jenis usaha yang paling aman dan tingkat resikonya paling kecil, mencari yang ada system penjaminannya secara syariah. Kami sudah kemukakan bahwa Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy internasional membolehkan adanya penjaminan dari pihak ketiga terhadap saham-saham sektor bisnis. Dari sini, maka pengelola wakaf atau nadhir harus mencari pihak-pihak seperti ini sebagai penjamin sebaik mungkin. Jika tidak ada pihak penjamin, maka mengusahakan kepada pemerintah agar bertindak sebagai penjaminnya.
Mempercayakan kepada disiplin ilmu kontemporer dan metode-metode atau teknik-teknik terbaru serta berbagai hasil penelitian dan telaah para ahli di bidangnya secara matang, agar dikelola oleh orang-orang yang ikhlas, kredibel, dan professional dalam bidang usaha atau bisnis.
Melalui planning atau perencanaan, antisipasi, supervisi, dan kontrol atau audit internal terhadap kegiatan bisnis tersebut.
Memperhatikan Fiqh Aulawiyat (fiqh tentang apa yang terpenting dan penting serta apa yang mesti didahulukan) dan fiqh tentang tingkatan-tingkatan resiko dalam kegiatan bisnis, serta fiqh tentang bagaimana bermuamalah/bekerja sama dengan perbankan dan perusahaan bisnis, dimana pengelola wakaf tidak boleh bekerja sama kecuali dengan perbankan islami dan perusahaan bisnis yang memenuhi persyaratan keamanan, sekuritas keuangan (liquid) dan penjaminan. Dari titik ini, pengelola wakaf wajib untuk mengarahkan harta wakaf, jika ingin didayagunakan, dalam kegiatan bisnis yang tetap lebih aman dan tingkat resiko terkecil, yaitu bisnis dalam bidang properti.
KRITERIA PENGELOLA WAKAF DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WAKAF
Yang dimaksud di sini adalah perusahaan atau lembaga harus memiliki aspek legalitas hukum, independent, tidak memiliki ketergantungan dengan pemiliknya atau serikatnya; adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak dan kewajiban terhadap harta wakaf tersebut; dan yang memiliki tanggung jawab secara terbatas hanya kepada harta/modal tersebut semata. (Lihat: Dr. Al-Sanhuriy, Al-Wasith 5/288, Dr. Abu Zaid Ridhwan, Al-Syarikat Al-Tijariyah, hal 110, Dr. Shalih Al-Marzuqiy, Al-Syarikat Al-Musahamah fii Al-Nidham Al-Suudiy, Cet. Jami’ah Ummul Qura, hal 191).
Persyaratan-persyaratan ini tidak pernah tertera dalam hukum positif Negara kecuali pada abad-abad terakhir ini saja, padahal para fuqaha Islam sudah menetapkan kaidah-kaidah pengelolaan harta wakaf tersebut puluhan abad yang silam, dimana pandangan fiqh Islam telah memberikan pandangannya tentang pihak-pihak yang mengelola wakaf, secara khusus. Fiqh membedakan antara kriteria alamiah dan kriteria professional semisal nadhir wakaf atau yang mengetuainya, dan konsekuensi dari semua hal itu, atas sesungguhnya wakaf harus selalu dimonitor oleh lembaga independent, baik independent dari pengaruh pewakaf (wakif) maupun pengaruh nadhirnya. Lembaga ini bertugas memonitor harta wakaf dan seluruh konsekuensinya, baik hak maupun kewajiban. Sejumlah fuqaha, baik dari madzhab Syafiiyah maupun Hanabilah menyatakan bolehnya memindahkan kepemilikan kepada pihak pengguna wakaf semisal fakir-miskin, ulama, sekolah, dan masjid. (Al-Raudhah, Imam Nawawi, 5/342, Al-Mughni, Imam Ibnu Qudamah 5/640,641).
Para fuqaha Hanafiyah dan Syafiiyah juga membolehkan pihak penilai wakaf untuk mengajukan hutang atas nama harta wakaf demi mencapai mashlahat, dengan seizin dari qadhi hakim, kemudian melunasinya dengan hasil pendayagunaanya. Ini juga menjadi dalil atas sesungguhnya wakaf memiliki sifat tanggung jawab harta yang bisa dilakukan hutang-piutang demi harta wakaf itu, kemudian pelunasannya diambil dari hasil pendayagunaannya. (Fatawa Qadhi Khan bi Hamisy Al-Fatawa Al-Hindiyah 3/298, Durar Al-Mukhtar ma’a Hasyiyah Ibnu Abidin 4/439, Al-Asybah wa Al-Nadhair li Ibn Najim, hal 194, Tuhfah Al-Muhtaj 6/289).
Imam Ibnu Najim berkata: Pihak penilai wakaf bisa menyewakannya, kemudian menyudahinya, dan penilai wakaf lainnya bisa meneruskannya.” Dan ini menjadi dalil atas sesungguhnya harta wakaf, dilihat dari sisi dzatnya, bisa menerima sewa, artinya ia bisa disewakan, dan di sana ada banyak nash yang menunjukkan adanya dampak dari kriteria-kriteria professional tentang pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf dalam peraturan wakaf modern. (Al-Bahr Al-Raiq 5/259, Mabda’ Al-Ridha fii Al-Uqud, Dirasah Muqaranah, Cet. Al-Basyair Al-Islamiyah, Beirut, 1985, 1/353)
Saya tidak ingin berpanjang-lebar membahas hal ini secara detail, akan tetapi maksud saya mengemukakan hal ini adalah bahwa model pengelolaan harta wakaf ini, secara fiqh, dengan pengelolaan diserahkan kepada institusi independent telah menciptakan perkembangan terhadap harta wakaf itu sendiri pada abad-abad pertama Islam, dan telah memberikan sumbangan yang nyata kepa.da perkembangan peradaban ummat Islam ini, mampu menjaga dan memelihara sebagian besar kebutuhan asasi masyarakat Islam sebagaimana yang diinginkan oleh ummat dalam sisi pengembangan, semisal pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit-rumah sakit. Dan sebagian lembaga pengelola wakaf dan waris khusus memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan amal dan layanan karitas (charity services).
Maka, model pengelolaan ini, secara fiqh, memiliki nilai lebih dalam 2 (dua) aktivitas: pengelolaan harta wakaf dan layanan sosial, dan ini lebih unggul jika dibandingkan dengan pengelolaan wakaf secara pribadi. Yang paling mencolok adalah bahwa pengelolaan wakaf secara institusi, akan lebih kontinyu daripada jika dikelola secara pribadi; lebih optimal dan lebih berkembang, lebih jelas dalam tahapan pencapaian tujuan, lebih mudah untuk diaudit dan evaluasi, baik internal maupun eksternal, serta bisa di-reform dalam sisi manajerialnya demi efektivitas audit internal. Kesemuanya ini akan bermuara pada akselerasi dan perkembangan institusi-institusi pengelolaan wakaf. (Dr. Ma’bad Al-Jarikiy, Abhats fii Al-Waqf, Nadwah Al-Waqf Al-Khairiy li Haiah Abu Dhabi Al-Khairiyah, hal 120).
Oleh karena itu, mayoritas institusi pengelola wakaf selalu ada di bawah pengawasan Daulah Islamiyah (Negara Islam), khususnya di bahwa qadhi (hakim), apalagi kalau melihat kepada masa-masa penerlantaran bidang ini karena lemahnya ummat Islam dalam berbagai sisi kehidupannya.
Dan yang menunjukkan urgensi wakaf adalah perhatian para musuh Islam, khususnya para penjajah, dalam memberangus berbagai institusi wakaf, menjelek-jelekan wakaf dan orang-orang yang mengelola wakaf, kemudian memberikan nama baru yang jelek dan mengganti manajemen pengelolaannya. Dan menurut saya, hal ini tidak perlu bukti lagi. Karena ungkapan mereka (para penjajah) adalah bahwa “wakaf jika ditinggalkan tidak dengan maksud untuk menerlantarkannya maka ia akan berkembang pesat, dan akan bisa memberikan sumbangan yang nyata, lebih besar daripada apa yang sudah tercatat dalam sejarah Islam.”
Oleh karena itu, ketika berbicara tentang wakaf, kita harus mengarahkan segala kemampuan dan potensi kita untuk mengembangkan institusi pengelola wakaf dalam segala sisi kehidupan. Dan dunia Barat telah mengambil manfaat yang besar dalam model wakaf Islam secara kelembagaan, dalam berbagai sisi kehidupan mereka, khususnya aspek pendidikan dan penelitian. Maka, mayoritas lembaga ilmiah dan pendidikan tinggi mereka memiliki harta wakaf untuk menjamin kontinyuitas lembaga tersebut dan karena besarnya dukungan pemerintah terhadap hal ini.***
Sumber:
Istitsmar Al-Waqf wa Thuruquhu Al-Qadimah wa Al-Haditsah, Prof. Dr. Ali Muhyiiddin Al-Qarrah Daghy, Maktabah Misykah Al-Islamiyah (Guru Besar Fak. Syariah- Qatar University, Anggota Majami’ Fiqhiyyah, Anggota Majelis Eropa untuk Fatwa dan Penelitian Islam).
Penerjemah:
Abu Valech Yanhouth
0 komentar:
Posting Komentar