PENGUBAHAN WAKAF 2
>> Sabtu, 27 Februari 2010
b. Tidak boleh, jika dari yang kecil kepada yang lebih besar
Tidak boleh mengubah harta wakaf dan persyaratan wakaf jika dari yang kecil kepada yang lebih besar atau lebih tinggi. Dan inilah tekstual madzhab Syafi’iyah dan Hanbaliyah. (Lihat: Al-Iqna fii Hilli Alfadz Abi Syuja’ 1/30, dan Kasyf Al-Qana 4/258, Syarh Al-Muntaha 2/501).
Disebutkan dalam kitab Al-Iqna, Imam Al-Syarbiny:
Yaitu bahwasannya wakaf itu sesuai yang disyaratkan pewakaf, baik mendahulukannya atau menterakhirkannya, menyamakan atau mengutamakannya, menggabungkannya dan mengurutkannya, dan mengikutksertakan seseorang, siapapun orangnya, sesuai dengan kriterianya, dan mengeluarkan seseorang siapapun orangnya sesuai dengan criteria tersebut.”
Disebutkan dalam kitab Kasyf Al-Qana:
Dan harta wakaf dikembalikan untuk mengikuti persyaratan pewakaf --berdasarkan peruntukannya -- ketika terjadi sengketa/perselisihan dalam satu atau beberapa persyaratan wakaf … sebab harta wakaf berasal darinya (pewakaf) maka ia harus mengikuti apa yang disyaratkan oleh pewakaf, dan persyaratan tersebut kedudukannya seperti nash Al-Qur’an di dalam implementasinya, … dan pengecualian semisal sebuah syarat, maka harus dikembalikan kepadanya … dan demikian juga pengkhususan lainnya, sama seperti seseorang yang mewakafkan sesuatu untuk anak keturunannya yang menjadi fuqaha (ahli fiqh) ataupun untuk anak keturunannya yang hidup untuk menggeluti ilmu agama, maka harta wakaf itu harus dikhususkan hanya untuk mereka, maka tidak boleh orang selain mereka ikut menikmati harta wakaf tersebut.”
Dalil-Dalil Pandangan kedua ini adalah:
Dalil-dalil yang sudah kami kemukakan tentang wajibnya mengikuti/mentaati persyaratan pewakaf.
Dan komentar kami atas point ini
Adalah bahwa mengubah persyaratan pewakaf dengan mengubah harta wakaf dari sesuatu yang manfaatkan kecil/rendah kepada sesuatu yang manfaatnya besar/lebih tinggi masih masuk dalam koridor mengamalkan persyaratan pewakaf, bahkan lebih lagi.(a) Sabda Rasulullah kepada Umar, ketika berbicara tentang tanah Umar yang di Khaibar: Bershadaqahlah dari hasilnya, namun jangan dijual tanah tersebut atau dihibahkan, ataupun diwariskan; akan tetapi budidayakanlah tanah tersebut dan bershadaqahlah dari hasilnya.” Maka, bila ia dilarang dari mengubah asal pokok harta tersebut (tanah), maka demikian juga, larangan berlaku untuk urusan percabangannya, maksudnya dilarang dari mengubah persyaratan pewakaf.
Komentar kami terhadap hal ini adalah:
Adapun yang dilarang dari menjual harta wakaf, dalam hadits ini, adalah penjualan yang bisa menggugurkan/menghapuskan wakaf itu sendiri. Namun, jika mengubah atau menggantinya, dengan syarat tetap memperhatikan dan mengindahkan mashlahat yang lebih besar sebagaimana yang sudah kami kemukakan terdahulu, maka tidaklah mengapa.
(b) Kedua: Harta wakaf dikiyaskan sama dengan orang merdeka yang sudah dibebaskan, maka seseorang yang sudah menjadi merdeka tidak boleh lagi dibelenggu dengan dijadikan budahk. Demikian juga harta yang sudah diwakafkan, maka ia tidak boleh diambil lagi untuk menjadi harta miliknya, setelah sahnya perwakafan tersebut. (Lihat: Al-Munaqalah bi Al-Auqaf: 118). Demikian juga persyaratan pewakaf.
Komentar kami atas qiyas ini:
Adalah bahwasannya qiyas tersebut tidak bisa dijadikan patokan/pegangan, sebab mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang berbeda, sebab orang yang dibebaskan hingga jadi orang merdeka, ia menjadi bebas dengan mengeluarkan uang untuk bisa merdeka; berbeda dengan harta wakaf).
Qadhi Abul Husain ibn Qadhi Abu Ya’la Al-Farra’, berkata:
Mereka berhujjah bahwasannya harta wakaf menjadi hilang hak kepemilikannya dari seseorang demi untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak dibenarkan untuk melakukan penyimpangan dalam penyalurannya seperti menyalurkannya untuk membiayai pembebasan budak.
Jawaban atas hal ini adalah:
Sesungguhnya, hadyu yang wajib karena adanya nadzar juga bisa menghilangkan hak kepemilikan hewan hadyu dari pemiliknya, dan boleh untuk menyalurkannya dengan menyembelih hewan hadyu sebelum sampai di tempatnya. Maka, demikian juga bila seseorang bernadzar untuk bershadaqah dengan beberapa dirham (rupiah), maka boleh menggantinya dengan yang lainnya. Demikian juga, seseorang menjadikan rumahnya sebagai hadyu untuk ka’bah, maka boleh saja menyalurkannya dengan cara menjual rumah tersebut dan uangnya disalurkan untuk ka’bah. Namun, seorang budak, jika sudah dibebaskan maka tidak ada cara apapun untuk mengembalikan hartanya tersebut setelah ia bebas menjadi merdeka. Sebab, pembebasan budak terjadi dengan sebab pembayaran atau mengeluarkan harta sebagai harganya, berbeda dengan apa yang sedang kita bicarakan ini. Sebab, harta dalam wakaf tersebut masih tetap ada, hanya saja manfaat dari harta wakaf itulah yang menjadi maksud inti, maka dengan itu tergapailah manfaat dengan menggantinya atau menjualnya. Maka, menyamakan atau menyerupakan hal ini dengan hadyu lebih utama daripada menyamakannya dengan budak yang dibebaskan. (Lihat: Al-Munaqqlah bi Al-Auqaf).Riwayat Ibnu Umar, katanya: Umar (Bapakku) pernah ber-hadyu dengan seekor kambing, maka ia memberikannya dengan 300 dinar. Kemudian ia mendatangi Nabi dan berkata: Wahai Rasulullah, aku sudah ber-hadyu dengan seekor kambing, kemudian aku memberikannya dengan 300 dinar, lalu aku menjualnya, dan apakah uangnya bisa aku belikan seekor unta gemuk? Rasulullah menjawab: Tidak boleh, namun sembelihlah kambing tersebut.”HR. Abu Daud, Ahmad, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya.
Aspek pendalilan: Bahwasannya Rasulullah melarang Umar dari mengubah hewan hadyu, maka jika ternyata itu di larang, maka dilarang pula mengubah wakaf dan persyaratan wakaf.
Jawaban kami atas pendalilan ini adalah:
Hadits ini dhaif, maka tidak boleh berhujah dengan hadits ini, karena dua hal: (i) Dalam hadits ini adalah Jaham ibn Jarud yang dikatakan oleh Imam Al-Dzahabi: Dalam diri Jaham ibn Jarud ada kejahilan. (Mizan Al-I’tidal: 1/426); (ii) Dalam hadits ini ini ada “sanad yang terputus, Imam Bukhari menyebutkan dalam Tarikh-nya: Saya tidak mengetahui kalau Jaham pernah mendengar hadits dari Salim.” Tarikh Kabir 2/230.
Jikapun hadits itu shahih, maka sesungguhnya menyamakan hukum antara barang yang bisa digantikan dengannya itu lebih kuat dan lebih utama daripada wakaf. Dan harta yang akan digantikan, sebagaimana keinginan Umar, adalah bukan lebih utama daripada kambing , jika yang dimaksudkan adalah untuk taqarrub kepada Allah, bahkan kambing itu sendiri lebih utama daripada uangnya/harganya, dan lebih utama daripada unta yang gemuk yang akan ia beli dengan uang itu. Kenapa? Karena sebaik-baik biaya pembebasan budak adalah yang paling mahal harganya dan paling baik orangnya menurut keluarganya. Dan apa yang diinginkan tentu lebih tinggi langi dari apa yang akan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’alaa, tidak demikian halnya dengan kambing hadyu.
Kalaupun hadits ini shahih, dan jika boleh bagi kita menerima “penggantian” untuk hadyu, dan menolak “penggantian” untuk qurban, maka itu tidak membuat konsekuensi bolehnya mengganti wakaf ketika ada maslahat yang lebih kuat atau lebih besar. Kenapa? Karena maksud dari wakaf adalah berlangsungnya manfaat yang mengalir secara kontinyu beserta lestarinya harta wakaf tersebut. Ini berbeda dengan keadaan hadyu atau qurban. (Lihat: Al-Munaqalah bi Al-Auqaf).
Mana yang lebih kuat?:
Setelah kami kemukakan semua hujjah masing-masingnya, maka nampaknya yang memiliki dalil lebih kuat adalah pandangan pertama yang menyatakan bolehnya mengubah persyaratan pewakaf ketika diketahui ada maslahat yang lebih besar. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang sudah terkemukakan sebelumnya tentang bolehnya mengubah harta wakaf, apalagi mengubah persyaratannya. Maka dari itu, mungkin saja dibolehkan untuk memanfaatkan harta wakaf yang tadinya diperuntukkan untuk selain kepentingan ilmu dan pengembangan ilmu, dengan memperuntukkannya bagi kepentingan pengembagan ilmu dan yang terkait dengannya, jika hal itu lebih manfaat dan tidak meniadakan maksud inti dari pewakaf. Wallahu a’lam.
Sumber: Al-Auqaf fii Al-Ashr Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha
Dr. Khalid ibn Ali ibn Muhammad Al-Musyaiqih
Penerjemah:
Abu Ilyasa Nu’man
0 komentar:
Posting Komentar