REFLEKSI MAULID NABI SAW
>> Minggu, 28 Februari 2010
Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW
Memaulidkan Kejujuran
Oleh: Mahmudi Asyari
BANYAK hikmah yang telah dibahas berkaitan dengan peristiwa maulid (hari lahir) Nabi Muhammad SAW. Satu hal yang mendasar, namun sering tidak dijadikan mainstream, ialah soal kejujuran.
Sejarah telah mencatat bahwa sebelum risalah Islam diterima beliau, Muhammad kecil tidak ubahnya anak-anak dan remaja pada umumnya meski sejumlah pihak sudah mulai melihat tanda-tanda kelebihan pada diri beliau. Namun, satu hal yang sangat menonjol pada diri Muhammad kecil adalah kejujuran. Ketika beliau belum menerima wahyu, sikap itu telah menjadi pemersatu sekaligus penengah pertentangan para elite Makkah ketika akan meletakkan Hajar Aswad seusai pemugaran Ka'bah. Dari peristiwa itu pulalah gelar al-amin (orang tepercaya) disandangkan ke Nabi Muhammad SAW.
Dengan memperhatikan kenyataan sejarah tersebut, ketika antusias memperingati maulid, umat Islam semestinya bertanya terhadap diri masing-masing, apakah nilai-nilai luhur nabi sejak sebelum menjadi utusan Allah telah menjadi bagian dari hidup mereka? Hal itu sangat penting, mengingat nilai itulah yang pertama ada sekaligus dipraktikkan oleh beliau sehingga mendapatkan sebutan al-amin.
Ketika sudah diangkat menjadi Rasul Allah, kejujuran tetap menjadi mainstream ajaran Islam meski sejak itu sudah ada syariat lain, seperti ibadah, hukum, tauhid, dan lain-lain. Namun, kejujuran tetap beliau tekankan melalui sabda beliau, ''Innama bu'itstu li utammim al-'akhlaq (saya diutus untuk menyempurnakan akhlak [moral]).
Secara kebahasaan Arab, kata innama mengandung arti ikhtishash (kekhususan) yang memberikan kesan itulah mainstream ajaran Islam, paling tidak, jika dirujuk kepada praktik jahiliah ketika itu. Jahiliah tidak bisa diartikan dengan bodoh karena orang-orang Arab ternyata secara ilmu tidak bodoh, tapi merujuk kepada praktik tidak bermoral. Pangkal utama moral (akhlak) adalah kejujuran.
Setiap diri manusia dibekali dhamir (suara hati) yang senantiasa membisikkan kebenaran agar setiap manusia berperilaku benar sesuai dengan bisikan tersebut. Dan, jahiliah ketika itu adalah ketidakhirauan atas bisikan kebaikan tersebut. Sehingga, dengan dalih untuk tidak terkena aib, jika istrinya melahirkan anak perempuan, (bayi itu) dikubur hidup-hidup ('istihya'). Mungkin, kalau sekarang, samalah dengan perangkat desa yang -agar tidak ada rakyatnya yang berkategori miskin- justru mengusir rakyat itu, bukan membantu mereka agar terhindar dari kemiskinan.
Masih dalam konteks akhlak (kejujuran) itu, beliau kemudian bersabda yang maksudnya adalah bahwa ketidakjujuran (kadzib) pangkal (ra's) segala dosa. Dan, sikap itulah yang dipraktikkan ketika ada seorang datang minta nasihat agar berhenti mencuri di mana profesi itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Nabi cukup menjawab, ''La takdzib" (jangan bohong). Mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan dalam hatinya barangkali berkata, ''Kecil"!
Namun, alangkah terkejutnya si pria itu, ketika akan mencuri, dia tersentak oleh nasihat beliau tersebut. Hati kecilnya merasa bahwa itu tidak benar sehingga kemudian dia melapor kepada Nabi Muhammad SAW bahwa dirinya tidak akan mencuri lagi.
***
Perintah jangan berdusta tersebut memang kecil. Namun, akibatnya sangat besar. Sebab, jika melakukan hal itu, seseorang tidak hanya mempunyai nama baik, tapi juga bisa memperbaiki keadaan yang sudah parah.
Para pemimpin Indonesia, bangsa yang selalu mengklaim mempunyai nilai luhur, sebaiknya becermin apakah tindakan mereka sudah benar-benar dilandasi moral (akhlak) yang basis utamanya adalah kejujuran? Kejujuran di saat Indonesia karut marut seperti saat ini -salah satunya termasuk kasus Bank Century- dirasa sangat penting untuk memperbaiki keadaan bangsa yang sudah semrawut.
Menurut fakta, Indonesia termasuk salah satu negara produsen hukum (undang-undang) terbesar di dunia. Jika ditambah aneka peraturan di luar undang-undang seperti perppu dan aturan lain di bawahnya sampai tingkat kabupaten/kota, (Indonesia) bisa menjadi negara terbesar di dunia dalam hal memproduksi peraturan perundang-undangan. Namun, kenapa hal itu tidak juga bisa membuat bangsa ini keluar dari kesemrawutan tersebut?
Hukum sebanyak dan sebaik apa pun tidak akan sanggup mengubah ''kejahiliahan'' bangsa ini. Sebab, jika hanya dipahami secara formal, hukum hanya akan menjadi seperti pohon kering yang tidak bisa menaungi dan memberikan kesejukan. Malah, bisa jadi, orang-orang yang tidak bernurani merasa mempunyai celah untuk mencari pembenaran dengan melakukan tafsir terhadap peraturan perundang-undangan yang ada.
Oleh sebab itu, untuk menjadikan aneka peraturan yang sudah menjadi hutan belantara tersebut, tidak ada pilihan lain selain memaknainya dengan moral dan nilai kejujuran agar sebuah aturan tidak malah menjadi alat pembenaran sebuah kesalahan.
Berkaitan dengan hal itu, mengingat pemimpin negeri ini mayoritas muslim dan mayoritas juga tidak menentang maulid, seharusnya nilai dasar ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu kejujuran, menjadi titik tolak perenungan dan evaluasi. Apakah selama ini kita telah menerapkan nilai yang beliau jadikan dasar untuk membuat perubahan di sebuah komunitas yang tadinya merupakan tempat paling tidak bermoral di dunia tersebut?
Perenungan ajaran kejujuran itu juga sangat penting bagi mereka yang sedang menjadi anggota pansus saat ini. Dengarkanlah suara hati nurani yang senantiasa membisikkan kebenaran, bukan mengedepankan pertemanan tanpa batas. Jadikanlah bisikan nurani tersebut sebagai basis kepentingan jika memang berkomitmen untuk Indonesia yang lebih baik. Mari peringati maulid, segarkan perilaku bermoral kita! (*)
*). Dr Mahmudi Asyari , pemerhati masalah sosial keagamaan
0 komentar:
Posting Komentar