>> Selasa, 09 Februari 2010
HUKUM PERJANJIAN
Hukum Perjanjian pada dasarnya mencakup hukum hutang piutang. Dengan adanya perjanjian, maka suatu fihak berhak untuk menuntut prestasi dan alin fihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin menyerahkan benda, atau melakukan suatu perbuatan, atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Bentuk-bentuk darim perjanjian dalam masyarakt hukum adat adalah :
1. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan atau
tanpa bunga, atau barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai
dengn nilainya masing-masing pada saat yang telah disepakati.
Hasil penelitian lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan
bahwa peminjaman yang dikenakan bunga telah lazim ter adi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang luar, artinya yang tidak mempunyai
hubungan kekerabatan dengan fihak yang meminjamkan uang itu.
Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan
pengaruh dari kebisaaan-kebisaaan di kota dari para pendatang.
Demikian pila dengan pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjamtersebut merupakan suatu hal yang sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan dengan barang sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang yang dipinjamkan.
2. Perjanjian Kempitan
Perjanjian kempitan merupakan suatu bentuk perjanjian dimana sesorang menitipkan sejumlah barang kepada fihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang atau barang yang sejenis. Perj anjian kempitan ini lazim terjadi dan pada umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan.
Didalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu antara lain :
a. Harus ada musyawarah lebih dahulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
b. Diadakan batas waktu pengembalian barang, dan kalu barang tersebut
tidak diambil, maka barang itu dijual atas dasar mufakat.
c. Dalam surat perjanian itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang
tersebut
d. Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka hrus ada penggantian dan
apabila barang itu telah dijual orang yang dititipi barang tersebut harus
diberi upah untuk jerih payahnya.
Dengan demikian, dalam perjanjuan kempitan terdapat kecenderungan bahwa
barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para fihak
harus saling percaya-mempercayai.
3. Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya sesudah
tanaman itu berbuah dan sebentar lagi kan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya
beberapa daerah Sumatera Selatan) perjanjiantebasan merupakan perj anjian
yang tidak lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa perikatan dalam
bentuk ini merupakan perjanjian yang dilarang.
4. Perjanjian Perburuhan
Bisaakan seseorang memperkerjakan orang lain yang bukan keluarga tanpa diberi upah berupa uang? Perihal bekerj a sebagai buruh dengan mendapat upah merupakan suatu hal yang sudah lazim dimana-mana. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa apabila memperkerjakan orang lain harus diberi upah dan upah tersebut haruslah berupa uang.
Tetapi ada variasi lain, yaitu bahwa ada kemungkinan seseorang bekerja tanpa
diberi upah berupa uang, akan tetapi segala biaya kehidupannya ditanggung
sepenuhnya.
Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan rumah,
merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur
baur dengan memberikan penumpangan kepada kepada sanak-saudara yang
miskin dengan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di lading.
5. Perjanjian Pemegangkan
Apakan lazil bahwa seseorang menyerahkan suatu benda kepada orang lain
sebagai jaminan atas hutangnya ?
Di beberapa masyarakat, pada umumnya perjanjian pemegangkan ini cukup
lazim dilakukan dan pemilik uang berhak mempergunakan benda yang dijaminkan itu sampai uang yang dipinjamkan itu sampai uang yang dipinjamkan itu dikembalikan. Akan tetapi, apabila pinjaman uang tersebut dikenakan bunga, maka pemilik uang itu hanya berkewajiban menyimpan barang tersebut dan tidak berhak untuk memprgunakannya, karena dia menerima bungan hutang tersebut.
6. Perjanjian Pemeliharaan
Perjanjian pemeliharaan mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum
harta kekayaan adat. Isi perjanjian pemeliharaan ini adalah bahwa fihak yang satt – pemelihara menanggung nafkahnya fihak lain – terpelihara – lebih-lebih selama masa tuanya, pula menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai imbalan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalan si terpelihara, dimana kdang-kadang bagian itu sama dengan bagian seorang anak.
Perjanjian ini pada umumnya dikenal antara lain di Minahasa dan persamannya terdapat di Bali dimana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang lain. Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu wajib menyelenggarakan pemakamannya dan pembakaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak saudaranya yang ditinggalkan; untuk itu semua maka ia berhak atas harta peninggalannya.
7. Perjanjian Pertanggungan Kerabat
Apakah lazim seseorang menanggung hutang orang lain yang tidak sanggup
melunasi hutang tersebut ?
Ter Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian dimana
seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat
ditagih bila dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh
dari si peminjam sendiri. Menanggung hutang orang lain, pertama-tama
mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat, berhadapan dengan
orang luar. Kedua mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada
sanak saudara.
Misalnya dikalangan orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu
bertindak bersama-sama atau dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu
sanak saudaranya semenda dan kerabatnya sedarah yang seakan-akan lewakili golongan-golongan mereka berdua yang bertanggung jawab.
Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaran dari perkiraan yang
diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera Selatan perjanjian pertanggungan
kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan. Alasan-alasannya antara lain :
a. Menyangku kehormatan suku
b. Menyangkut kehormatan keluarga batih
c. Menyangkut kehormatan keluarga luas.
8. Perjanjian Serikat
Acapkali ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dipelihara oleh anggota
masyarakat dalam berbagai macam kerja sama. Kerja sama dari para anggota
masyarakat untuk memenuhi kepentingan itulah yang menimbulkan serikat,
yang didalamnya muncul perikatan atau perjanjian-perjanjian untuk memenuhi
kepentingan tertentu tadi. Sebagai contoh adalah dimana beberapa orang yang
setiap bulan membayar sejumlah uang tertentu dalam waktu yang telah
ditetapkan bersama, misalnya, dalam setiap bulan. Masing-masing mereka
secara bergiliran akan menerima keseluruhan jumlah uang yang telah
dibayarkan itu dan dapat mempergunakan uang tersebut sekaligus dan juga
seluruhnya.
Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan serikat, di Minangkabau
disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan mahaqha dan di Minahasa
disebut mapalus. Tetapi perlu diingatkan bahwa mapalus di Minahasa mengandung arti rangkap. Pertama- sebagai bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung kegiatan tolong menolong secara timbale balik, sehingga dapat digolongkan dalam bentuk perikatan tolong menolong yang merupakan “wederkeng hulpbetoon”. Kedua adalah bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan di muka. Bentuk kdrja sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan dan tidak semata-mata menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan dengan pelbagai keperluan, seperti keperluan rumah tangga, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut juga sudah meluas dalam masyarakat, dan lazim disebut arisan.
9. Perjanjian Bagi Hasil
Menurut ter Haar, maka transaksi ini merupakan suatu perikatan, dimana
obyek transaksi bukanlah tanah, akan tetapi pengolahan tanah dan tanaman di
atas tanah tersebut. Proses tersebut mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah
tidak mempunyai kesempatan untuk mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi
berkeinginan untuk menikmati hasil tanah tersebut. Maka, dia dapat
mengadakan perjanjiandengan fihak-fihak tertentu yang mampu mengerjakan
tanah tersebut, sengan mendap`tkan sebagain dari hasilnya sebagai upah atas
jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat dijumpai hamper di seluruh
Indonesi, dengan pelbagai variasi, baik dari sudut penanamannya, pembagian
hasilnya, dan seterusnya.
Di daerah Sumatera Barat (Minangkabau), transaksi ini dikenal dengan nama “mampaduoi” atau “babuek sawah urang”. Perjanjian bagi hasil tersebut didalam kenyataannya dilakukan secara lisan (dihadapan kepala adat), dan tergantung dari factor kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman dan seterusnya. Apabila tanah yang akan dikerjakan akan dijadikan sawah, sedangkan benih padi disediakan oleh pemilik tanah, maka hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap, tanpa memperhitungkan nilai benih serta pupuknya. Perjanjian semacam ini disebut “mempaduoi”. Lain halnya, apabila tanah keras, ldang atau sawah yang ak`n dikerj akan, ditanami dengan palawija, dimana pemilik tanah menyediakan bibit serta pupuk. Hasilnya tetap dibagi dua, akan tetapi dengan memperhitungkan harga bibit dan pupuk; perjanjian semacam ini disebut “saduo bijo”. Perjanjian tersebut dapat diteruskan (atau dihentikan) oleh ahli waris, apabila pemilik tanah penggarapn meninggal.
Di Jawa Tengah, maka perjanjian tersebut tergantung pada kualitas tanah,
macam tanaman yang akan dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Kalau
kualitas tanah baik, misalnya, maka pemilik tanah akan memperoleh bagian
yang lebih besar. Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah,
sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (“maro”)
b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian (“mertebu”)
c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.
Khususnya di Bali Selatan, perjanjian bagi hasil penerapannya disebut “sakap
menyakap” (Koentj araningrat 1967:60). Ketentuan-ketentuannya adalah,
sebagai berikut :
a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama, yaitu
masing-masing ½ (”nandu”).
b. Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 bagian (“nelon”)
t 2/3 bagian dan penggarap 1/3 bagian (“ngapit”).
d. Pemilik tanah mendapat ¾ bagian, sedangkan penggarap ¼ bagian
(“merapat”)
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah
diatur didalam Undang_Undang Nomor 2 tahun 1960, yang intinya adalah :
a. Penentuan bagian yang didasarkan pada kepentingan penggarap dan kualitas tanah, dengan ketentuan penggarap memperoleh ½ bagian atau 2/3
bagian.
b. Atas dasar kualitas dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil berjangka waktu
antara 3 sampai 5 tahun.
c. Kepala Desa mengawasi perj anjian-perjanjian bagi hasil.
10. Perjanjian Ternak
Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada fihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu”.
Di Sumatera Barat (Minangkabau) dikenal dengan nama “paduon taranak”
atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini, lazimnya berlaku ketentuan- ketentuan sebagai berikut :
1. Jika ternak itu ternak betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi
sama banyaknya antara si pemilik dan si pemelihara, atau dipatut harga
induknya, kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan kelebihan
harga induknya yang dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan harga induk
adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu akan membagi.
2. Jika ternak itu ternak jantan, maka sewaktu diserahkan pada pemelihara
harus ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua.Kalau
dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
- Jika induknya dahulu dipatut harganya, maka laba dibagi dua
- Jika induknya dahulu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara
diberikan sekedar uang jasa selama ia memelihara ternak tersebut,
besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya social saja.
- Kalau ternak iitu mandul, maka dijual, bisaanya dikeluarkan juga uang
rumput pemeliharaan, dan pemelihara mempunyai hak terdahulu jika i`
ingin membeli atau memeliharanya kembali.
- Jika ternak itu mati ditangan si pemelihara..., bisaanya kedua fihak pasrah
kepada kedua tkdir tersebut.
Di Daerah Lampung, maka lzimnya berlaku ketentuan-ketentuan, sebagai
berikut (Soerjono Soekanto 1975 : 46) :
a. Pada ternak besar, hasilnya dibagi sama rata
b. Kalau pokoknya mati, maka harus diganti dengan hasil pertama
c. Pad unggas, maka bagi hasil tergantung pada musyawarah antara para
fihak
Didalam keputusannya tertanggal 23 Oktober 1954 nomor 10/1953,
pengadilan negeri Tapanuli Selatan menetapkan bahwa menurut hukum adat
di Tanah Batak, tentang pemelihraan kerbau, adalah sebagai berikut :
a. Kalau seekor kerbau mati dalam pemeliharaan, yaitu kelihatan
bangkainya, tidak diganti oleh pemelihara.
b. Kalau kebau itu mati karena tidak dipelihara atau liar ataupun hilang, yang
memeliharanya harus menggantikannya sebesar kerbau yang mati, liar atau
hilang itu, atau membayar seharga kerbau yang mati, liar atau hilang itu.
In casu seekor kerbau yang mati karena masuk lubang di padangan, dianggap
mati dalam pemeliharaan. Didalam kasasi, maka Mahkamah Agung
memutuskan, bahwa bila ada kerbau yang hilang atau mati karena masuk
lubang, maka sangat sulit untuk menentukankesalahan dari fihak pemelihara.
Dengan demikian, maka sepatutnya resiko ditanggung oleh kedua belah fihak,
secara sebanding (Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 2 April 1958,
nomor 348 K/Sip/1957).
0 komentar:
Posting Komentar