Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

KONSEP PENANGGULANGAN KEMISKINAN

>> Kamis, 04 Februari 2010

C.Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan Dan Perluasan Lapangan Kerja

C.1. Konsep Kemiskinan dan Pengangguran

Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan peluang penting yang menjadi hak setiap orang. Setiap orang harus bebas dari rasa lapar, harus dapat hidup dalam damai, dan harus mempunyai akses untuk mendapatkan pendidikan dasar dan jasa-jasa layanan kesehatan primer. Keluarga-keluarga miskin butuh mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan cara bekerja dan mendapatkan imbalan secara wajar serta seharusnya mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan terhadap guncangan-guncangan dari luar. Sebagai tambahan, perorangan maupun masyarakat juga miskin dan cenderung terus miskin apabila mereka tidak diberdayakan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
     Dalam konteks upaya penanggulangan kemiskinan, dibutuhkan perubahan paradigma pembangunan dari top down menjadi bottom up, dengan memberi peran masyarakat sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai fasilitator. Proses bottom up akan memberi ruang bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam merencanakan, menentukan kebutuhan, mengambil keputusan, melaksanakan, hingga mengevaluasi pembangunan.
     Kondisi ini akan terlihat jika menempatkan kaum miskin dalam posisi terhormat, memberi ruang pada mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan dalam konsep pembangunan manusia. Ada beberapa dimensi terkait pengertian kemiskinan, baik yang melihat dari dimensi kesejahteraan material, maupun kesejateraan sosial. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis, seperti yang disampaikan Suwondo (1982:2) bahwa kemiskinan terbagai menjadi kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan dalam menikmati kehidupannya. Pengertian kemiskinan yang lebih luas disampaikan oleh John Friedman (Ala, 1996:4) yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.  
     Dari pengertian kemiskinan tersebut maka berbagai faktor yang menyebabkan kemiskinan juga secara umum lebih banyak disebabkan oleh faktor alamiah dimana kondisi alam dan wilayahnya tidak mampu mendukung kehidupan warganya, serta faktor struktural dimana kemiskinan yang timbul dari bentukan karena struktur masyarakatnya yang penuh ketidakadilan. Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan sebagai akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab kemiskinan terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian dibandingkan faktor alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat ini, kajian terhadap faktor alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.  
     Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan ukuran yang tepat dan berlaku umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan menjadi sangat normatif. Terkait dengan pelaksanaan PNPM Mandiri, ada beberapa ukuran yang mendekati seperti yang disampaikan oleh Emil Salim (1984:42-43) bahwa ada lima ciri kemiskinan yang meliputi: 1) tidak memiliki faktor produksi, 2) tingkat pendidikan rendah, 3) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 4) kebanyakan tinggal di desa, dan 5) banyak hidup di kota berusia muda dan tanpa skill.
     Untuk itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam arah kebijakan pembangunan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini disampaikan Sri Mulyani (Soetrisno ed. 1995:2) menegaskan bahwa kebijakan yang mampu menjawab masalah kemiskinan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan adalah dengan membuka kemungkinan golongan miskin untuk berpartisipasi dalam proses pertumbuhan itu sendiri. Dengan adanya kebijakan tersebut maka upaya untuk meningkatkan akses penduduk miskin agar dapat memperoleh, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya yang tersedia.
Sebagai salah satu langkah penanggulan kemiskinan maka proses partisipasi masyarakat paling tidak ada tiga tahapan mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, dan pemanfaatan. Keterlibatan tersebut dapat dilihat dari: keterlibatan mental dan emosi, kesediaan memberi sumbangan/atau sukarela membantu, dan adanya tanggung jawab. Untuk itu, Y. Slamet (1993:3) memberi pengertian bahwa sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan, b) pelaksanaan program-program atau proyek secara sukarela, dan c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau suatu proyek.

C.2. Keterkaitan Antara Kemiskinan dan Pengangguran

     Dari definisi kemiskinan tersebut maka untuk mengindentikan bahwa masyarakat dikatakan miskin berarti pengangguran tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan pengangguran merupakan situasi yang disebabkan oleh faktor orang-orang yang bekerja di bawah kapasitas optimalnya (pengangguran terselebung), dan faktor orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapat lapangan pekerjaan sama sekali (pengangguran penuh). Untuk itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melakukan distribusi pendapatan melalui pencipataan lapangan kerja berupah memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat yang miskin.
     Dengan adanya upaya perluasan lapangan kerja maka perlu mendapat dukungan dari berbagai tindakan kebijakan dan regulasi baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berjangkauan lebih jauh lagi. Oleh karena itu, masalah ketanaga kerjaan harus senantiasa diperhitungkan sebagai salah satu unsur utama dalam setiap perumusan strategi pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada usaha penanggulangan kemiskinan.
     Untuk itu, partisipasi hanya dimungkinkan berjalan dengan baik, bila berangkat dari kesadaran dan prakarsa aktif masyarakat. Kesadaran dan prakarsa ini akan muncul bila masyarakat memiliki daya dan posisi tawar yang tinggi dalam mengakses, mengelola, dan mendayagunakan sumberdaya disekitarnya secara optimal. Partisipasi hanya mungkin terjadi bila terdapat keseimbangan antara daya /posisi tawar masyarakat yang diharapkan menjadi aktor utama utama pembanguan dan pemerintah. Dalam konteks ini, pemberdayaan (empowerment) menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif bukan hanya dimobilisasi.

C.3. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan

     Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus menerus, proses partisipatif dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. 
Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang makin langka. Program-program pemerintah yang berbasis pemberdayaan seperti PPK telah memberi banyak pengalaman dalam menekan biaya untuk suatu pekerjaan dengan kualitas yang sama yang dikerjakan program non pemberdayaan. Pendekatan ini akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah. 
     Pemberdayaan didefinisikan sebagai membantu masyakat agar mampu membantu diri mereka sendiri (help people to help themselves). Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses sumberdaya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni: 

a.menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.

b.memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

c.memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.

Pemberdayaan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat dengan meningkatkan kapasitasnya. Setidaknya ada tiga kapasitas dasar yang dibutuhkan untuk itu, yakni: 
Pertama: suara (voice), akses, dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pertama, suara adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola kehidupan secara kolektif dan mandiri.
Dalam konteks perencanaan pembangunan partisipatif, maka suara dapat disampaikan oleh masyarakat melalui musyawarah-musyawarah perencanaan pembangunan. Di sini lah masyarakat dapat mengusulkan ide pembangunan yang berangkat dari kebutuhan riil mereka, menyusun prioritas, dan mengambil keputusan pembangunan. Namun demikian sistem pembangunan dengan paradigma top down di masa lalu telah mereduksi kapasitas tersebut, sehingga masyarakat merasa sungkan atau tidak berani mengemukakan gagasannya dalam forum resmi meskipun diberi kesempatan. Di sini diperlukan sebuah proses pembelajaran melalui fasilitasi, motivasi, edukasi, dan advokasi secara terus menurus untuk mengembalikan kepercayaan diri masyarakat dan meningkatkan kemampuannya dalam menyampaikan aspirasi secara jelas dan sistematis berbasis kebutuhan.

Kedua, akses berarti ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola sumberdaya publik termasuk dalam pelayanan publik. Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik pada warga, terutama kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan pemecahan masalah dan pengembangan potensi secara sistematis. Pemerintah wajib merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama dengan berpijak pada kemitraan dan kepercayaan.

Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya, kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang bawah, sementara yang paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai penindasan sesama masyarakat, seraya hendak membangun tanggungjawab sosial, komitmen dan kompetensi warga terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP