FUNGSI KEPEMIMPINAN NU
>> Minggu, 28 Februari 2010
NU; Harapan dan Kenyataan
Oleh: . KH Agoes Ali Masyhuri
MENJELANG Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama di Makassar bulan depan, muncul kembali kegairahan dan semangat baru untuk menata NU, bukan sekadar besar dalam jumlah, tapi juga mampu besar dalam peran. Kerinduan terhadap makna besar dalam peran itu diwujudkan dengan cara yang bermacam-macam. Di antaranya, menyoroti kinerja yang dilakukan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama selama ini.
Penguatan syuriyah dan manajemen organisasi menjadi topik menarik dalam berbagai kesempatan. Warga NU mengharapkan syuriyah lebih berperan daripada tanfidziyah, terutama mampu bekerja secara sinergis dengan tanfidiyah. Bukan berangkat sendiri-sendiri yang bisa melahirkan tumpang tindihnya tugas dan wewenang.
Saya berharap, siapa pun yang terpilih menjadi rais aam dan ketua umum PB NU yang akan datang harus memahami betul apa saja tugas dan wewenang dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Dengan demikian, terbukalah ruang yang luas lahirnya gagasan-gagasan baru yang segar untuk menata NU sebagai organisasi sosial keagamaan untuk lebih berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dulu NU disegani oleh berbagai kalangan, masyarakat merasa memiliki NU karena NU banyak berbuat untuk masyarakat. Kondisi itu sangat beda dengan sekarang. NU kini sering diterpa berbagai tantangan dari berbagai sektor kehidupan, baik politik, sosial, maupun ekonomi, yang tidak pernah padam.
Kesadaran akan adanya tantangan itulah merupakan langkah awal sebagai cambuk agar NU bangkit. Perlu disadari bahwa tantangan dan lawan yang harus dihadapi warga NU bukan saja yang datang dari luar, tetapi juga dari diri sendiri.
Ketika saya mengikuti silaturahmi kiai se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Salafiyah, Pasuruan, Jawa Timur, beberapa hari lalu, ada seorang kiai yang berpenampilan sederhana berkata kepada hadirin, ''Jangan mencari jabatan di NU seperti orang-orang sekarang ini. Teladanilah KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali. Mereka rata-rata bersikap arif dan bijak dalam keadaan apa pun. Mereka memancarkan akhlak yang terpuji, bersikap tawadhu', dan mementingkan kepentingkan organisasi daripada kepentingan diri sendiri.''
Tegasnya, seorang ulama, kiai, adalah penerus risalah Nabi. Dia harus senantiasa memancarkan cahaya kearifan bagi orang-orang di sekitarnya, meskipun dalam perjalanan perjuangannya mengalami berbagai tantangan dan rintangan, sebagaimana yang dialami para Rasul, Nabi, sahabat, dan orang-orang saleh.
Seorang ulama, kiai, adalah mereka yang sangat istikamah menebarkan rahmat di tengah-tengah masyarakat, membimbing, melayani, serta mengarahkan umat agar tetap di jalan Allah. Mereka memahami betul peran hidupnya sehingga tidak mudah terbawa arus dan kondisi yang semakin semrawut di tengah ketidakpastian yang sedang melanda bangsa ini.
Saat ini banyak orang pandai berbicara tentang kebaikan, tapi tidak mampu melaksanakan. Maka, seorang kiai harus benar-benar mampu tampil sebagai kekuatan penyangga, pengayom, sekaligus sebagai pembimbing umat. Bagi mereka, kepuasan tak terhingga bila ia dapat mendidik meskipun hanya kepada seorang. Mereka tidak menghitung berapa jumlah pengikutnya.
Sebagaimana para Rasul dan Nabi, dia tidak mengharapkan upah dan penghargaan apa pun kecuali dari Allah. Keikhlasan senantiasa hadir dalam perjalanan perjuangannya sehingga punya magnet dan daya tarik tersendiri bagi umat untuk mengikuti dan menaati mereka sebagai figur panutan. Saya ingat apa yang dikatakan Ibrahim al-Khawwas, seorang wali besar pada zamanya yang artinya, ''Bukanlah dikatakan seorang alim karena banyaknya riwayat. Orang alim adalah pengikut pengetahuan dan mengamalkan pengetahuan itu, selain mengikuti jejak sunah-sunah walaupun ilmunya sedikit.''
Fungsi Kepemimpinan
Berangkat dari pokok pikiran di atas, siapa pun yang terpilih sebagai rais aam dan ketua umum PB NU yang akan datang dalam muktamar harus mempunyai empat fungsi kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Pertama, sebagai perintis. Seorang pemimpin harus memahami dan memenuhi kebutuhan organisasi atau umat, misi, dan nilai-nilai yang dianut. Jika pada NU, tentunya misi keumatan dan ajaran Islam ahlusunah waljamaah. Pemimpin harus telaten, ulet, dan tahan banting dalam menghadapi situasi dan kondisi apa pun.
Kedua, fungsi penyelaras. Berkaitan dengan bagaimana pemimpin menyelaraskan keseluruhan sistem organisasi agar mampu bekerja saling sinergis, antara banom, lajnah, dan perangkat organisasi yang lain. Hal itu harus dioptimpalkan demi terwujudnya tatanan organisasi agar berjalan pada sistem dan rel yang digariskan pada muktamar nanti.
Ketiga, fungsi pemberdayaan. Mampu menumbuhkan agar warga NU dalam berorganisasi bisa melakukan yang terbaik, punya komitmen dan dedikasi yang kuat serta jelas.
Keempat, fungsi panutan. Seorang pemimpin harus dapat menjadi panutan bagi para pengikutnya, harus mampu tampil menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan. Bertanggung jawab atas tutur kata, sikap, perilaku, dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Saat ini, sedikit sekali tokoh yang patut diteladani. Akibatnya, hilangnya rasa malu sebagian anggota masyarakat, terempasnya norma hukum yang melahirkan frustrasi sosial, dan yang lebih menyedihkan hampir tidak ada nilai-nilai penghalang orang melakukan saling fitnah. Di sini, peran NU sangat dinanti oleh umat untuk mampu memberikan pencerahan pada saat masyarakat dilanda krisis keteladanan. (*)
*). KH Agoes Ali Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo
0 komentar:
Posting Komentar