>> Senin, 08 Februari 2010
SIFAT-SIFAT UMUM HUKUM ADAT INDONESIA
1. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia
Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak yang terpenting adalah:
1. Bercorak Relegiues-Magis:
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah daripada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat.
Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
Arti Relegieus Magis adalah :
- bersifat kesatuan batin
- ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
- ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk
halus lainnya.
- percaya adanya kekuatan gaib
- pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
- setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
- percaya adnya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta
seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan
lain sebagainya.
- Percaya adanya kekuatan sakti
- Adanya beberapa pantangan-pantangan.
2. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak
dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup
bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pad
kepenting`n perseorangan..
Secara singkat arti dari Komunal adalah :
- manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala
pebuatannya.
- Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya
- Hak subyektif berfungsi sosial
- Kepentingan bersama lebih diutamakan
- Bersifat gotong royong
- Sopan santun dan sabar
- Sangka baik
- Saling hormat menghormati
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan,
kepentinga bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan
pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system
pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan
hasil musyaw`rah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan :
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang
bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara
serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan
bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihat`n yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan
dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud.
Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan
nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
2. Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan d`lam perkara hukuman menyebut aturan-
aturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi
UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-
Undang dapat menentukan bagi mereka :
1. Hukum Eropa
2. Hukum Eropa yang telah diubah
3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa. Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa.
Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari perattran yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukul adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :
1. Dekrit Preriden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Sumber-Sumber Hukum Adat
Sumber-sumber hukum adat adalah :
1. Adat-istiadat atau kebisaaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan- ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarajat.
4. Pembidangan Hukum Adat
Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut bisaanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku terrebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum delik
10. Sistem sanksi.
Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”,
mengemukakan pembidangnya sebagai berikut :
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5. Hukum Hutang piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10. Hukum Delik
11. Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di
atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo
Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman
Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang
mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
0 komentar:
Posting Komentar