>> Minggu, 28 Februari 2010
Dalam sebuah hadis yang dikenal dengan ‘Hadis Jibril’, Nabi Muhammad mengajarkan tiga dimensi pokok Islam yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Kisahnya ketika itu Nabi saw dan para sahabatnya sedang duduk-duduk bersama dalam sebuah majelis, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nabi saw. Setelah laki-laki itu pergi, Nabi saw memberitahu sahabatnya bahwa dia adalah Malaikat Jibril yang datang untuk mengajarkan agama (dien) kepada mereka. Sebagaimana terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan Jibril dan jawaban-jawaban Nabi, agama Islam memiliki tiga dimensi dasar yakni Islam, Iman dan Ihsan.Ajaran Islam, pada tataran eksternal adalah agama yang memberitahukan kepada umat manusia apa yang wajib dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Perbuatan-perbuatan baik dan buruk dijelaskan dan dikodifikasi oleh syariat. Dalam hal ini syariat dapat diumpamakan sebagai ‘tubuh’ Islam, karena ia menjelaskan berbagai amal perbuatan yang dilakukan anggota tubuh, dan karena ia memperkuat kehidupan dan kesadaran tradisi. Perintah-perintah seperti shalat, puasa, zakat dan haji merupakan contoh dari tataran ini.Pada tataran lebih dalam, Islam merupakan agama yang mengajarkan kepada umat manusia bagaimana memahami dunia dan diri mereka sendiri. Dimensi kedua ini berhubungan dengan pikiran. Secara tradisional disebut ‘keimanan’, karena setiap bagian orientasinya adalah obyek-obyek yang berkaitan dengan keimanan –kepada Allah, para malaikat, Nabi dan sebagainya. Pada tataran ini dibutuhkan kajian dan perenungan atas keyakinan-keyakinan Islam
Selanjutnya pada tataran yang paling dalam, Islam adalah agama yang mengajarkan umat manusia bagaimana mentransformasikan diri mereka sendiri agar mereka dapat menciptakan keselarasan dengan sumber segala wujud. Aktivitas dan pemahaman harus difokuskan sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan kebajikan dan kesempurnaan manusia. Kebajikan ini inheren dan bersifat intrinsik bagi fitrah manusia, yang diciptakan dalam citra Ilahi. Hal inilah yang merupakan dimensi ihsan dalam Islam. Dalam tradisi para Sufi, dimensi ihsan ini memainkan peran yang sangat penting di samping Islam dan Iman. Dalam hadis itu, Nabi saw mendefiniskan ihsan dengan ‘beribadalah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Akan tetapi, apabila engkau tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu.’ Ihsan inilah yang merupakan jantung dari agama yang meliputi kebaikan, cinta, kebajikan dan kesempurnaan.
Namun demikian tidaklah mudah bagi manusia untuk menjalankan ketiga dimensi tesebut, khususnya pada dimensi ketiga, ihsan. Karena di dalam diri manusia selalu terjadi peperangan antara Jiwa Kebajikan dengan Hawa Nafsu dan Syahwat. Jiwa Kebajikan cenderung untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan hawa nafsu dan syahwat cenderung untuk kepada kehidupan duniawi material saja dan lalai kepada Allah. Memang untuk mempunyai kesadaran ruhani seperti itu bukan hal mudah. Sebuah proses perbaikan harus dilakukan untuk kita meningkatkan jiwa kita mencapai Jiwa Kebajikan. Untuk itu menyadari hakikat diri kita merupakan hal penting dalam membangun kesadaran beragama itu. Jika kita mau mengurai \'dari mana mulai beragama\', ini dapat kita mulai dengan menyadari dalam diri kita (manusia) ada aspek \'lahir\' dan ada aspek \'bathin\'. Aspek lahir adalah tubuh ini, yang apabila ajal telah menjemput akan dikuburkan dalam tanah. Dan akan kembali menjadi tanah. Aspek bathin adalah sang ‘jiwa’, yang pernah bersaksi kepada Allah sebelum kita terlahir (QS 7:172) dan yang kelak akan disiksa di alam kubur apabila menemui ajal dalam keadaan berdosa. Dan yang tetap akan hidup damai bersama jiwa-jiwa para Nabi, Shidiqin,Syuhada dan Shalihin apabila menghampiri ajal dalam keadaan suci bersih.
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):\"Bukankah Aku ini Rabbmu\". Mereka menjawab:\"Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi\". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: \"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)\". (QS. 7:172)
Jiwa dalam bahasa Arab disebutkan sebagai \'an-Nafs\' bukan \'ar-Ruh\'. Karena antara jiwa dan ruh sesungguhnya ada perbedaan. Ruh manusia berbeda dengan ruh hewan. Apabila Ruh hewan hanyalah berfungsi sebagai nyawa untuk menghidupkan jasad, ruh manusia berfungsi pula sebagai sumber pengetahuan Ilahiah (Ruh Amr).
Ruh manusia merupakan sebahagian Ruh Allah yang ditiupkan ke dalam diri manusia. Karena itu apabila manusia benar-benar dapat merefleksikannya, manusia akan menjadi citra Allah di muka bumi yang ini dalam termilogi Islam sering disebut sebagai Insaan Kamil. Dan jika ini terjadi dalam diri seorang manusia, maka ia disebut sebagai khalifah (wakil atau citra) dari Allah. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. 32:9)
Keberadaan jiwa manusia itu sendiri berada pada dua pengaruh, yaitu pengaruh Ruh Amr dan pengaruh Jasad. Jiwa yang dipengaruhi Ruh Amr inilah yang merupakan Jiwa Kebajikan. Sedangkan akibat dari pengaruh jasad ini kemudian muncul entitas-entitas hawa nafsu dan syahwat. Hawa nafsu dan syahwat ini adalah kendaraan bagi manusia untuk hidup di dunia, namun sekaligus sebagai batu ujian dari Allah. Seorang manusia tiada akan mungkin dapat hidup di dunia tanpa hawa nafsu dan syahwatnya. Namun manusia yang merelakan diri, segala aktifitasnya didasari oleh hawa nafsu dan syahwat akan semakin menyebabkan jiwanya turun derajatnya, bahkan lebih rendah dari hewan.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya.Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu).” (QS. 25:43-44)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (QS. 45:23)
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. 7:179) Namun manusia yang mengendalikan dirinya dari hawa nafsu dan syahwatnya, maka sang jiwa akan mengalami proses pensucian atau penyempurnaan. dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, (QS. 91:7-8) Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:40-41)
Sedangkan orang-orang yang tiada memperdulikan aspek bathiniahnya, hanya fokus kepada aspek lahiriahnya, akan merelakan seluruh aktifitasnya untuk diatur oleh hawa nafsu dan syahwatnya. Akibatnya tanpa disadarinya, Jiwa Kebajikannya terbelenggu, diperbudak dan dipenjara oleh hawa nafsu dan syahwatnya.
Manakala Jiwa Kebajikan terbelenggu oleh hawa nafsu dan syahwatnya, maka ia akan lupa terhadap apa yang pernah diperjanjikannya kepada Allah sebelum lahir ke muka bumi. Dan apabila ini terus terbawa sampai menghadapi ajal, maka Jiwa Kebajikan akan menanggung penderitaan, karena tidak memenuhi janjinya.
Usaha diri kita untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu dan syahwat, inilah merupakan \'gerbang\' dari seluruh proses keagamaan kita. Apabila seseorang mengendalikan diri dari hawa nafsu dan syahwatnya,maka sedikit demi sedikit Jiwa Kebajikan akan terlepas dari belenggu hawa nafsu dan syahwat. Dan sedikit demi sedikit ia akan mengingat \'perjanjiannya\' dengan Sang Rabb sebelum ia dilahirkan ke muka bumi.
Jika kita ibaratkan hawa nafsu dan syahwat itu bagaikan hewan ternak, yang jika tidak dikendalikan akan semakin liar dan sulit diatur. Lihatlah diri kita, apabila kita melakukan sebuah kemaksiatan kemudian mengulanginya lagi, maka akhirnya semakin sulit bagi kita untuk mengendalikannya. Dan akhirnya sulit bagi kita untuk keluar darinya. Seperti sebuah cermin yang bening, jika lama-kelamaan tidak dibersihkan maka akan semakin buram dan tidak akan dapat berfungsi menjadi cermin, karena tidak ada bayangan yang dapat dipantulkan di sana.
Kita harus menyadari bahwa keberadaan hawa nafsu dan syahwat yang ada dalam diri manusia itu, adalah media bagi setan untuk menggoda manusia. Tanpa godaan dari setan sekalipun hawa nafsu dan syahwat telah mencenderungkan manusia kepada keburukan. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 12:53). Namun bukan berarti kita harus menghilangkannya sama sekali, hanya saja hawa nafsu itu harus dikendalikan agar kita tidak terjerumus ke dalam kenistaan.
Apabila seseorang berusaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya
dengan sungguh-sungguh (mujahadah), maka apabila Allah ridha terhadap upayanya, maka Allah akan menolongnya. Satu demi satu hawa nafsu dan syahwat yang liar, akan menjadi \'jinak\' dan terkendali. Inilah yang disebut di ayat di atas sebagai \'nafsu yang telah diberi rahmat\'. Maka Jiwa Kebajikan akan semakin dapat mengendalikan hawa nafsu dan syahwat-nya ini, menjadi semakin sempurna, menjadi muthmainnah (nafs al muthmainnah). Dan apabila hawa nafsu dan syahwat telah \'jinak dan terkendali\', maka ini akan menjadi kendaraan bagi manusia untuk kembali kepada Allah. “Hai nafs al-muthmainnah. Kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. 89:27-28)
0 komentar:
Posting Komentar