Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

PENGUBAHAN WAKAF

>> Sabtu, 27 Februari 2010

BOLEHKAH MENGUBAH PESAN/WASIAT/PERSYARATAN WAKAF?

Jenis-Jenis Pengubahan Pesan/Wasiat/Persyaratan Pewakaf

Pada dasarnya, penerima wakaf wajib mengamalkan dan mentaati persyaratan dari pewakaf. Hal ini berdasarkan firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah aqad-aqad kalian. (Q.S. Al-Maidah 1). Dan melaksanakan aqad, termasuk di dalamnya melaksanakan pokok dan semua kriteria yang ada padanya. Hal ini juga sesuai dengan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: orang-orang muslimin itu adalah sesuai dengan persyaratan mereka.HR. Bukhari. Umar ibn Khaththab berkata: Seseorang itu mewakafkan sesuatu harta-benda dan mensyaratkan suatu persyaratan padanya. Maka, jika tidak ada kewajiban mentaati persyaratan yang ditetapkan oleh pewakaf, maka tentu saja tidak ada gunanya untuk memberikan syarat tersebut.

Mengubah persyaratan pewakaf terbagi atas tiga hal:
1. Mengubah dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah

Maksudnya adalah nadzir/penerima wakaf mengubah persyaratan pewakaf dari kemaslahatan yang lebih baik daripada maslahat yang lebih rendah. Misalnya, seseorang mewakafkan sesuatu untuk fakir-miskin kerabat sendiri, maka sang nadzir/penerima wakaf mengubahnya menjadi wakaf untuk fakir-miskin umum.

Hal ini haram dan tidak boleh berdasarkan kesepakatan seluruh ulama muslimin, berdasarkan dalil-dalil yang sudah kami kemukakan terdahulu atas wajibnya mengamalkan persyaratan pewakaf.

2. Mengubah wakaf kepada wakaf lain yang nilainya sama
Yang dimaksud di sini adalah jika nadzir (penerima wakaf) mengubah syarat pewakaf dari satu mashlahat kepada mashlahat yang nilainya sama. Semisal: wakaf yang diperuntukkan bagi fakir-miskin dalam negeri namun oleh nadzirnya disalurkan untuk fakir-miskin luar negeri. Ini haram, tidak boleh berdasarkan kesepakatan seluruh ulama Islam. Oleh karena itu, hukum sesuatu hal mengikuti ada atau tidak-adanya sebab dan alasannya. Intinya adalah wajibnya nadzir melaksanakan persyaratan pewakaf, berdasarkan dalil-dali yang sudah kami sebutkan di awal.

3. Mengubah dari yang rendah kepada yang lebih tinggi
Misalnya seseorang yang mewakafkan sesuatu untuk masyarakat umum, namun oleh nadzir hanya diperuntukkan bagi ulama saja. Para ulama berbeda pendapat tentang point ke-3 ini dalam dua pendapat:

a. Boleh

Yang berpandangan boleh adalah tekstual dari madzhab Hanafy, Maliky, dan ini adalah qiyas yang dipilih oleh Syaikhul Islam ibn Taimiyah tentang mengubah harta wakaf kepada jenis wakaf lainnya jika terlihat ada mashalatnya. (Lihat: Al-Bahr Al-Ra’iq 5/277, Al-Asybah wa Al-Nadlair, hal. 195, Hasyiyah Ibnu Abidin 3/387, AL-Fawakih Al-Dawaniy 2/225, Majmu Fatawa 31/253, AL-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah, hal 182)

Disebutkan dalam Al-Bahr Al-Ra’iq, disebutkan:
“Pada intinya, peruntukan wakaf adalah terkait dengan manfaat atau mashlahat, bukan pada bagaimana menyalurkannya, maka jika seorang nadzir memperuntukkan wakaf yang menyelisihi persyaratan pewakaf, maka tidak sah kecuali jika ada mashalahat yang nampak jelas.” Maka, pengubahan peruntukan wakaf yang menyelisihi persyaratan pewakaf, namun dari yang nilai maslahatnya rendah kepada yang lebih tinggi, ini merupakan mashlahat yang nampak jelas.

Dalam Al-Fawakih Al-Dawany disebutkan:
Dan dibolehkan menurut kami, atas nadzir untuk berbuat kepada harta wakaf segala hal yang dekat dengan tujuan wakaf tersebut, jika ia menyelisihi persyaratan pewakaf, semisal seseorang yang berwakaf air untuk mandi dan wudhu, maka boleh bagi nadzir menyalurkannya dalam bentuk sarana air minum, sebab jika pewakafnya masih hidup pasti ia pun membolehkan hal itu…”

Dari sini, maka dibolehkan mengubah persyaratan pewakaf dalam hal peruntukan harta wakaf dari yang nilainya rendah kepada yang lebih tinggi, sebab dengan hal itu akan tergapai tujuan dari sang pewakaf, bahkan lebih.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhhiyah berkata:
Dan jika dibutuhkan, maka wajib untuk mengubah harta wakaf yang peruntukannya sama, dan jika tidak ada kebutuhan untuk itu maka boleh mengubahnya kepada hal lain asal nilai kemanfaatannya nampak jelas lebih tinggi. Dan ini adalah qiyas yang benar. Ini bisa berlaku untuk harta wakaf yang bisa dipindahkan. Imam Ahmad cenderung atau setuju dengan hal ini. Dan boleh memindahkan masjid ke lokasi lain demi mashlahat masyarakat banyak. Namun, tidak boleh mengubah harta wakaf dengan yang semisalnya jika tidak ada alasan dan kebutuhan.” (Lihat: Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhhiyah, 182).

Beliau berkata dalam Fatawa:
Adapun harta yang diwakafkan karena nilai barang itu sendiri, jika diubah kepada yang lebih baik darinya, semisal seseorang yang mewakafkan sebuah rumah, kebun, atau pekarangan yang nilainya kecil, kemudian diubah atau kepada yang lebih memberikan manfaat, maka diperbolehkan. Yang berpandangan demikian adalah Imam Abu Tsaur, Abu Ubaid ibn Harbuyah (Qadhi Mesir). Dan ini adalah qiyas dari ucapan Imam Ahmad tentang penggantian masjid dari satu lokasi ke lokasi lain yang lebih manfaat … Dan ini adalah qiyas atas ucapan beliau tentang pengubahan harta wakaf kepada harta wakaf lainnya yang manfaatnya lebih.” Majmu Fatawa 31/253).

Dalil-Dalil Pembolehan:

  1. Hadits dari Aisyah, Rasulullah bersabda: Wahai Aisyah, jika bukan karena kaummu masih dekat masanya dengan masa kemusyrikan, tentu sudah aku runtuhkan Ka’bah, dan aku bangun kembali dengan dua pintu, pintu barat dan pintu timur, sert aku tambahkan padanya 6 hasta lagi dari tempat hajar aswad, sebab kaum Qurasiy telah menyempitkannya saat pembangunan Ka’bah. HR. Bukhari dan Muslim.

    Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata:
    Dan sudah maklum adanya bahwa Ka’bah adalah wakaf yang teragung yang ada di muka bumi, andai mengubah dan mengganti Ka’bah sebagaimana yang digambarkan Rasulullah itu wajib maka tentu sudah beliau laksanakan, maka dari sini tahulah kita bahwa hal itu adalah hukumnya bukan wajib namun boleh. Dan itu lebih manfaat jika tidak karena kekhawatiran Nabi. Dan ini adalah mengganti satu bangunan dengan bangunan yang baru. Ini berarti hukumnya boleh secara global. Dan mengganti satu tulisan dengan satu tulisan yang lainnya juga merupakan salah satu bentuk mengganti wakaf. (Lihat Majmu Fatawa, 31/244).

    Ibnu Qadhi Al-Jabal berkata:
    Hadits ini menjadi dalil atas bolehnya mengganti barang wakaf tertentu karena alasan mashlahat yang lebih besar. (Lihat: Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal 100).

    Jika demikian adanya tentang pokok asal wakaf, maka dalam kriterianya, yaitu persyaratannya, lebih layak lagi, boleh untuk mengubah/mengganti dari wakaf yang nilai mashlahatnya kecil kepada yang lebih besar.”

  2. Hadits dari Jabir ibn Abdullah berkata: Ada seseorang yang berdiri pada hari Futuh Mekkah dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sudah bernadzar untuk Allah, jika Kota Mekkah sudah dibuka oleh engkau, maka aku akan shalat di Baitul Maqdis dua rakaat.” Maka jawab Rasulullah: Shalatlah di sini (Mekkah), kemudian ia mengulangi lagi. Maka, Rasulullah tetap menjawab: Shalatlah di sini. Kemudian, ia mengulangi lagi, maka Rasulullah menjawab: Terserahlah kepadamu.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Shahih menurut persyaratan Imam Muslim, dishahihkan oleh Imam Ibn Daqieq Al-Ied. Lihat Talkhis Al-Habir, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany). Hadits ini menjadi dalil atas bolehnya mengganti nadzar kepada yang lebih baik, maka demikian juga wakaf.

  3. Dari Ubay ibn Kaab, berkata: Rasulullah mengutusku untuk menarik zakat, lalu aku melewati seseorang, maka tatkala aku sudah mengumpulkan hartanya, maka aku tidak menemukan pada hartanya kecuali bintu makhadh. Maka aku berkata kepadanya: Serahkan bintu makhadh itu, sebab itulah zakatmu. Maka ia menjawab: ia belum keluar susunya dan belum juga punya punggung, namun ini ada unta betina, gemuk, ambillah sebagai gantinya. Maka aku menjawab: Aku tidak ditugaskan untuk mengambil apa yang tidak diperintahkan, maka datangilah olehmu Rasulullah, beliau dekat dari sini, dan sampaikanlah permasalahan ini kepada beliau, jika beliau menerimanya maka akupun akan mentaatinya, namun jika beliau menolaknya maka akupun akan mengindahkannya. Maka ia menjawab: Ya, akan saya lakukan. Maka ia bersamaku pergi membawa unta betina tersebut hingga kami menemui Rasulullah, dan ia berkata: Wahai Nabiyullah, telah datang kepadaku utusanmu untuk mengambil zakat malku, tiada yang datang untuk mengambil zakat malku, baik Rasulullah atau utusannya sebelum engkau. Maka, aku pun mengumpulkan hartaku untuknya. Lalu, ia menyangka bahwa kewajibanku adalah menyerahkan zakat berupa bintu makhadh, padahal bintu makhadh belum keluar susunya dan juga belum keluar punuknya. Maka, aku bawakan untuknya satu ekor unta betinaku, besar dan gemuk agar dibawanya, namun ia enggan. Maka, ini sekarang saya bawa dan aku menghadapmu, wahai Rasulullah. Maka Rasulullah menjawab: “Apakah itu yang memang menjadi kewajiban zakatmu, jika engkau melebihkan dalam menunaikan kewajiban zakatmu maka semoga Allah membalasmu karenanya dan kami pun menerima zakatmu itu.” Maka, ia berkata: Ini, wahai Rasulullah, sudah aku bawa dan aku menghadap kepada engkau karenanya, ambillah.” Maka, Rasulullah menyuruhku (Ubay bin Kaab) untuk mengambilnya, mendoakan kebaikan untuknya dan untuk hartanya dengan doa keberkahan.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ahmad, Al-Hakim, dan Imam Al-Dzahabi menyepakati keshahihannya).

    Aspek pendalilan:
    Hadits ini menjadi dalil atas bolehnya mengganti jenis zakat yang wajib dikeluarkan, jika lebih baik dari apa yang sudah diwajibkan atasnya. Ia wajib mengeluarkan zakat berupa bintu makhadh, namun ia memberikan nintu labun, atau wajibnya berupa bintu labun namun ia menunaikan hiqqah. Ibnu Qadhi Al-Jabal berkata: Hadits ini bisa kita cerna maknanya terhadap harta wakaf, jika kita lihat ada mashlahat yang nampak jelas, maka bisa diganti wakaf dengan yang yang lainnya.” (Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal. 102.)

    Pembahasan: bahwasannya hadits tersebut menunjukkan bolehnya menunaikan zakat yang wajib dengan barang yang lebih baik daripadanya; yang wajibnya sudah diketahui, lalu penambahan atau melebihkannya adalah sebuah sunnah. Jika demikian keadaanya dalam masalah wakaf, maka persyaratan dari pewakaf lebih berhak lagi untuk hal itu.

  4. Hadits dari Umar ibn Khaththab, katanya: Aku membawa kuda tunggangan pada medan perang fii sabilillah, akan tetapi pemiliknya menelantarkan apa yang menjadi kewajibannya, kemudian aku ingin membelinya dengan harapan bisa lebih murah. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah, maka beliau menjawab: Jangan kau beli walaupun ia memasang harga semural 1 dirham (sekitar 50 ribu rupiah saat ini, -pent), karena orang yang kembali mengambil zakatnya seperti anjing yang menjilat kembali ludah yang sudah jatuh. HR. Bukhari dan Muslim.

    Penjelasan:
    Kata zakatnya adalah sama dengan kata wakaf, sebagaimana hadits Umar dalam masalah wakaf, kemudian Umar bershadaqah dengannya. Maka berpegang teguh dengan sistilah hibah karena kemiripannya dengan orang yang mengambil kembali wakafnya karena ingin hibah, karena hal itu termasuk ke dalam jenis mengambil kembali barangnya setelah ia keluarkan. Jika diperbolehkan mengganti pokok harta wakaf, maka tentu boleh juga mengganti persyaratan pewakaf.

  5. Riwayat dari Umar (Khalifah), beliau pernah memberikan surat instruksi kepada Saad ibn Abi Waqqash (Gubernur Kufah) agar memindahkan masjid Kufah ke lokasi yang baru, karena akan dijadikan pasar pedagang tamr (kurma), dan membangun gedung baitul mal di sebelah kiblat masjid. Riwayat ini demikian masyhur di berbagai kitab para fuqaha, semisal Al-Mughni 8/212, Al-Mabda’ 5/353, Syaikhul Islam juga mencantumkannya dalam Majmu Fatawa 31/215. Sanad riwayat ini adalah hasan. Hal ini disaksikan dan diketahui oleh para sahabat akan tetapi mereka tidak mengingkari perbuatan Umar tersebut, maka diamnya seluruh sahabat Nabi terhadap perbuatan Umar ini merupakan sepakatnya mereka atas bolehnya mengganti wakaf dengan yang semisalnya, asalkan manfaatnya tercapai.

    Syaikhul Islam Ibn Taimiyah:
    Jika ternyata boleh mengganti/mengalihkan masjid yang merupakan wakaf karena menimbang factor manfaat, padahal masjid itu sendiri merupakan tempat yang dimuliakan, maka tentu saja boleh untuk wakaf-wakaf yang lainnya. Dan ini adalah lebih utama dan lebih bijaksana. (majmu Fatawa 31/229)

    Ibnu Qadhi Al-Jabal berkata:
    Atsar dari Umar tersebut, menjadi dalil atas bolehnya menjual harta wakaf jika hilang manfaat dari wakaf tersebut; dan ini juga menjadi dalil bolehnya mengganti harta wakaf dengan yang lainnya jika ada mashlahat yang lebih besar. Sebab masjid tersebut, sebagaimana riwayat Umar, masih bermnafaat, hanya saja manfaatnya akan lebih besar jika dipindahkan demi menjaga dan memelihara baitul mal yang akan dibangun di sisi kiblat masjid yang baru. (Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal. 93). Maka, jika ternyata boleh mengubah/mengganti harta wakaf, maka tentu saja boleh juga mengubah persyaratan pewakaf.

  6. Para sahabat banyak mengubah (memperlebar dan merenovasi) bangunan Masjid Nabawy semaksimal mungkin demi mashlahat yang lebih besar. (Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal. 101). Telah tsabit/shahih riwayat bahwasannya Khalifah Umar dan Utsman mengubah bangunan Masjid Nabawy. Maka, perbuatan Khalifah Umar dan Utsman memperlebar dan merenovasi bangunan Masjid Nabawy merupakan fakta yang paling jelas tentang mengubah harta wakaf dan tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang mengingkari. Dan tentu saja, tidak ada perbedaan antara mengganti bangunan dengan bangunan baru, mengganti lahan dengan lahan baru jika ada mashlahat yang lebih besar.(Majmu Fatawa, 31/244). Maka, jika ternyata boleh mengubah pokok harta wakaf, maka tentu saja boleh mengubah persyaratan dari pewakaf.

  7. Sebagian sahabat Nabi ada yang pernah mengganti harta wakaf lalu ia bershadaqah dengannya, atau menjualnya. Ada sebuah riwayat bahwasannya Khalifah Umar setiap tahun sekali menurunkan kain penutup Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada para jamaah haji. (Dikeluarkan dari kitab Akhbar Makkah, Al-Fakihy, lihat Fathul Bari 3/458, 5/231). Aisyah menuturkan bahwa Umar melakukan hal itu karena sudah mulai jeleknya kain penutup Ka’bah, maka beliau menggantinya dengan yang baru. Umar berkata, “Juallah kain tersebut dan uangnya masukkan dalam pos dana fii sabilillah dan fakir-miskin.” (Akhbar Makkah, Al-Fakihy 5/231, Baihaqy 5/159. Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari: Riwayat Imam Baihaqy ada seorang rawi yang dhaif, namun pada riwayat Al-Fakihy seluruh rawinya selamat/shalih.”

    Imam Ibnu Qadhy Al-Jabal berkata:
    Riwayat ini demikian jelas bahwasannya boleh mengubah/memindahkan harta wakaf jika ada mashlahat yang lebih besar, demikian juga para persyaratan dari pewakaf. (Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal 113)

  8. Mengesampingkan pendapat yang berbeda jika berhadapan dengan Ijma ulama, dimana para ulama besar membolehkan, bahkan seluruh ulama sepakat atas bolehnya menjual kuda tunggangan wakaf jika sudah tidak lagi memberikan manfaat. Maka, kuda tungangan yang sudah diwakafkan dan yang semisalnya jika sudah tidak bisa lagi memberikan manfaat, baik untuk medan jihad atau yang lainnya, maka boleh untuk dijual, berdasarkan kesepakatan seluruh ulama Islam, walaupun masih bisa memberikan manfaat pada sisi lain, seperti sarana transportasi dan lain-lain. Dan sudah maklum adanya, bahwa kuda tunggangan yang sudah diwakafkan, dan yang lainnya, jika sudah tidak mungkin ada manfaatnya dengan dijual, secara umum, maka tidak boleh dijual, sebab tidak boleh menjual apa-apa yang tidak memberikan manfaat apapun. Dari sini, kita bisa tahu bahwa harta wakaf yang boleh dijual adalah yang sudah MENURUN nilai manfaatnya, maka boleh diganti jika ada maslahat yang lebih besar. Dari sini pula, kita tahu bahwa hukum dalam masalah ini tergantung kepada maslahat mana yang lebih besar. (Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal. 107). Dan jika mengubah pokok harta wakaf karena melihat maslahat itu hukumnya boleh, maka demikian juga dalam mengubah persyaratan dari pewakaf.

  9. Harta wakaf, semisal rumah, kebun-tanaman, dan barang bergerak, tidaklah diwakafkan kecuali karena agar manfaatnya bisa tergapai oleh para mustahiqnya, sesuai dengan kaidah yang ma’ruf/benar. Dari sini, maka harta wakaf semestinya bisa diberdayakan atau dibudidayakan agar bisa berkembang dan bertambah. Dan jika ada maslahat berupa bertambahnya hasil dan berkembangnya harta wakaf dengan tetap tidak bertentangan dengan larangan-larangan syariat dengan mengganti harta wakaf tersebut, maka sangat tepat untuk diganti demi berkembangnya kemaslahatan dan tercapainya tujuan wakaf itu sendiri. Demikian juga terhadap persyaratan dari pewakaf. (Al-Munaqalah bi Al-Auqaf, hal. 113).



Sumber: Al-Auqaf fii Al-Ashr Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha
Dr. Khalid ibn Ali ibn Muhammad Al-Musyaiqih


0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP