MANIFESTI ASMAUL HUSNA
>> Minggu, 28 Februari 2010
Dalam prinsip-prinsip ajaran sufi, pendekatan tipikalnya adalah mengembalikan sesuatu kepada Allah. Inilah yang merupakan inti dari ajaran tasawuf yang bersumberkan dari al-Quran. Sebagaimana yang tertera dalam prinsip Islam yang paling utama, yakni prinsip keyakinan dan pemahaman “Tidak ada tuhan kecuali Allah”, ini berarti memandang segala sesuatu sebagai memiliki hubungan yang sangat erat dengan Sumber (Tuhan) mereka.
Pandangan ini, misalnya, dapat kita temui dalam syair-syair ‘Abd al-Rahman Jami (w.1492 M), seorang tokoh sufi terkenal yang menulis tentang eksistensi Allah:
Tetangga, kawan karib, pengembara setia-semuanya adalah Dia.
Di gubuk si Miskin, di peradaban raja- semuanya adalah Dia.
Di pesta perpisahan dan perjumpaan ,
Semuanya adalah Dia, demi Allah- demi Allah, semua adalah Dia!
Dalam syairnya itu, terkesan ungkapan bernuansa panteistik yakni keyakinan bahwa keseluruhan makhluk identik dengan Allah. Namun bagi kaum sufi semacam Jami, memandang seruan semacam itu sebagai ungkapan retorik yang bertujuan menyadarkan jiwa manusia yang lalai agar kembali melupakan bahwa –pada salah satu makna “Semua adalah Dia”- untuk keadaan kita sekarang yang lebih benar ada adalah Dia”.
Pandangan ini berprinsip bahwa segala sesuatu mencerminkan cahaya Tuhan. William C. Chittick mempunyai penjelasan menarik tentang ini. Menurutnya, cara paling sederhana untuk memahami semua ini adalah menganalogikannya dengan matahari dan sinarnya. Matahari berhubungan dengan Allah dalam diri-Nya sendiri (disebut “Dzat” dalam teologi Islam). Spektrum cahaya yang muncul dari matahari berhubungan dengan nama-nama Allah (juga disebut “sifat-sifat-Nya”). Warna dan bentuk yang tampak di dunia dan terjadi karena pantulan cahaya itu merupakan “tanda-tanda” Allah. Sama halnya dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam ruangan merupakan perbuatan matahari, maka demikian pula halnya semua makhluk –sebatang pohon, seekor burung, sungai, gunung – merupakan perbuatan Allah.
Ada sebuah pertanyaan yang mengusik pikiran kita. Bagaimana jika seandainya Allah tidak pernah menciptakan dunia? Nama-nama itu tentu tetap berada dalam lemari perbendaharaan. Tak ada yang bereksistensi kecuali cahaya murni yang membutakan, dengan tak ada satu pun makhluk yang melihatnya dan tak ada yang bisa dilihat. Menurut Ibn Arabi, nama-nama Allah merupakan kemungkinan-kemungkinan kreatif yang tersembunyi di dalam Dzat Allah, yang dalam ayat al-Quran disebut “khazanah”, “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. al-Hijr:21)
Kesadaran bahwa wujud alam ini merupakan cermin cahaya-Nya dapat memberikan pencerahan pandangan pada diri manusia. Pencerahan ini meliputi sebuah kesadaran yang menunjukkan kebesaran dan keagungan eksistensi-Nya. Peniadaan selain-Nya merupakan wujud pengakuan akan kerendahan eksistensi kemanusiaan. Di sinilah timbul rasa kekaguman dan merasa rendah pada eksistensi yang Maha Mutlak. Kesadaran akan pandangan ini menimbulkan skap yang jauh dari kesombongan, karena ia sadar bahwa tidak ada eksistensi selain-Nya.
Dalam syairnya, Rumi membandingkan alam semesta dengan arus air yang mengalir, “yang di dalamnya terdapat kilauan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa.” Katanya,
Dunia adalahbuih, sifat-sifat Allah adalah samudra-
Buih menghalangimu dari kejernihan samudra!
Demikian pula pemikir sufi termasyhur, Ibn Arabi mempunyai pandangan yang mirip dengan Rumi. Ibn Arabi menjelaskan bahwa “keseluruhan kosmos merupakan wahana manifestasi sifat-sifat Allah.” “Pada hakikatnya,” kata Ibn Arabi, “tak ada yang bereksistensi kecuali nama-nama-Nya.” Pemkiran Ibn Arabi mempunyai nalar yang dapat diurut dengan sangat jelas. Dia mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, segala sesuatu memanifestasi Allah, segala sesuatu menjadi tanda Allah, segala sesuatu mencerminkan Allah, segala sesuatu itu bukanlah selain-Allah, “Semuanya adalah Dia”. Atau seperti yang dinyatakannya, “Tak ada yang bereksistensi kecuali Allah. Keberadaan kita pun terjadi melalui Dia. Mereka yang bereksistensi melalui sesuatu yang lain pada hakikatnya tidaklah bereksistensi.
Dengan kata lain, penjelasan ini mengatakan bahwa semua makhluk meminjam eksistensi dan sifat-sifatnya dari Allah dan bahwa, pada hakikatnya, mereka “tidak bereksistensi”. Ini dapat kita contohkan, kita dapat melihat bahwa warna dan bentuk yang kita persepsikan di mana-mana tidak lain merupakan eksistensi dan sifat-sifat cahaya. Jika kita mencermati objek-objek, kita cenderung memandangnya sebagai sesuatu yang independen dan ada dengan sendirinya.Akan tetapi, kita mengetahui bahwa yang kita persepsikan hanyalah cahaya- yang telah diberi warna tertentu oleh warna lain yang tidak tampak. Dengan demikian, satu berkas cahaya terlihat oleh kita dalam berbagai warna. Melalui cara serupa, satu-satunya yang kita persepsikan dalam ciptaan hanyalah hakikat Allah. Akan tetapi, jejak-jejak dan isi nama-nama maupun sifat-sifat Allah tampak kepada kita dalam keragaman wujud dan bentuk yang tak terbatas dan semua ini disebut “makhluk”. Seperti yang dinyatakan Jami:
Segala entitas merupakan jendela dengan banyak warna,
Di atasnya jatuh sinaran matahari Wujud.
Entah jendela-jendela itu merah, biru atau kuning,
Matahari tetap menampakkan dirinya berwarna-warni.
Lalu bagaimana manusia dalam hal ini dibandingkan dengan makhluk lainnya yang juga merupakan cermin cahaya-Nya. Allah menciptakan manusia dalam citra-Nya sendiri atau untuk lebih mendekati ungkapan Arabnya, “dari bentuk-Nya. Kaum sufi sering menafsirkan ini sebagai mengandung arti bahwa manusia adalah wadah yang di dalamnya nama-nama Allah mempertontonkan jejaknya sebagai sebuah kesatuan yang integral, seperti halnya alam semesta memanifestasikan esensi nama-nama dalam kilauan cahaya yang berpendar tanpa batas. Perbedaan antara manusia dan makhluk lain adalah bahwa masing-masing kita diciptakan dari bentuk Allah itu sendiri. Karena itu, setidak-tidaknya kita memiliki potensi untuk memamerkan jejak-jejak dan isi semua nama Allah sebagai kesatuan yang koheren dan integral. Makhluklain juga memanifestasikan nama Allah, namun tidak semuanya. Hanya manusia yang memanifestasikan semua mutiara dari Khazanah Tersembunyi, karena itu mereka dapat mengetahui jumlah keseluruhan Perbendaharaan itu.
Karena tercipta menurut bentuk Allah, manusia berpotensi untuk ikut memiliki kesadaran menyeluruh tentang jejak maupun isi nama-nama Allah yang keluasannya tiada terbatas. Al-Quran sering mengungkapkan keherannya kepada orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda di alam semesta maupun diri mereka sendiri, namun mereka tidak menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan dalam transformasi dan perubahan, bahwa semua mengarah pada kesadaran utuh tentang hakikat segala sesuatu. Kematian dan kebangkitan adalah dua tahapan lanjut dari pertumbuhan yang berawal di dalam rahim. Allah berfirman: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging… dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (secara berangsur-angsur) sampailah kamu kepada kedewasaan.” (QS. al-Hajj:5)
Kaum sufi memandang tahapan-tahapan kehidupan fisik sebagai tanda-tanda lahir dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa. Rumi terkenal karena deskripsina tentang pertumbuhan jiwa dari suatu tahap yang secara praktikal tidak bernyawa kepada tahap lain yang mengungguli malaikat. Fakta bahwa jiwa naik tahap demi tahap menjelaskan mengapa –meskipun “semua adalah Dia” – tidak ada seorang pun yang benar-benar menyadari hal ini tanpat mencapai kesempurnaan. Selama orang tidak melewati tahapan-tahapan moral dan pertumbuhan spiritual, mereka tetap buta terhadap hakikat diri mereka sendiri.
Manusia dalam melakukan perjalanan spiritual di mulai dari titik nol. Yang dalam tradisi tasawuf, perjalanan menuju kesempurnaan dimulai dalam “ketiadaan” bersama Allah. Ketika manusia mendengar perintah “Jadilah” dan mengakui Allah pada Perjanjian Alastu, mereka turun derajat demi derajat hingga memasuki rahim, yang merupakan tempat paling jauh dari Sumber. Kemudian mereka mulai naik menuju Allah, karena segala sesuatu akan kembali kepada-Nya, seperti halnya segala sesuatu berasal dari-Nya. Kedua perjalanan itu –yakni dari Allah menuju dunia dan dari dunia menuju Allah- sering disebut, menurut Chittick, dua ‘busur’ dari Lingkaran Eksistensi.
Pertumbuhan spiritual manusia dapat dilihat dari perkembangan manusia itu sendiri. Banyak sufi (maupun kalangan filosof Muslim) membandingkan bayi dalam tahapan awalnya dengan objek tak bernyawa atau mineral. Sedikit demi sedikit esensi kehidupan kehidupan dan indra muncul di dalamnya hingga mencapai tahapan tumbuhan. Pada waktu seorang bayi dilahirkan, ia telah menerima semua sifat hewani, meskipun dalam taraf yang tidak sempurna. Begitu masuk masa pubertas, yakni ketika daya tertinggi manusia –kecerdasan dan kemampuan berbicara- mulai memperlihatkan kemungkinan-kemungkinannya, seseorang telah dapat disebut “manusia”, meskipun belum secara utuh. Sebenarnya kita masih belum menjadi manusia seutuhnya kecuali jika kita mencapai kesadaran utuh tentang nama-nama Allah yang ada di dalm diri kita sendiri.
Perjalanan spiritual manusia ini merupakan perjalanan kesempurnaan. Dalam hal ini, manusia memiliki dua kesempurnaan. Pertama, kesempurnaan yang dapat dikatakan bersifat “alamiah” dan membawanya pada kematian fisik, kebangkitan dan pertemuan dengan Allah. “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqaq:6). Kedua, kesempatan yang hanya bisa dicapai melalui usaha sukarela untuk menumbuhkan jiwa. Dari sudut pandang pertama, manusia terpaksa tumbuh dan mati, namun dari sudut pandang kedua, mereka bebas memilih jenis eksistensi apa yang akan mereka rasakan pada tahapan selanjutnya di alam akhirat.
Kebebasan melakukan pilihan eksistensi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Selama pertumbuhan jiwanya, jejak-jejak nama Allah secara perlahan menampakkan dirinya sendiri. Ini terlihat dengan perubahan dari pandangan dan perbuatan manusia itu. Jadi manusia yang telah tercelup oleh cahaya Allah, akan memberikan eksistensi dirinya untuk Allah (karena memandang dirinya tak berarti di hadapan-Nya), dengan jalan membangun dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di antara manusia.
0 komentar:
Posting Komentar