Ukhuwah
>> Kamis, 04 Maret 2010
Dr. Mahmudi Asyari
Seiring peringatan tahun baru Islam (Hijrah) yang ke 1431 pada waktu lalu, wacana persatuan umat Islam kembali didengungkan meskipun masalah itu sebenarnya sudah sering menjadi pembicaraan kecil-kecilan di sejumlah kalangan. Namun, seiring pergantian tahun baru yang digagas Umar bin Khattab tersebut, perbincangan masalah itu seperti menemukan momentumnya lantaran pergantian tahun sebagaimana tahun Masehi juga dianggap sebagai sebuah refreshment bagi siapa saja dalam rangka menatap hidup lebih baik pada tahun berikutnya.
Akan tetapi, sebagaimana sudah sering diwacanakan persatuan umat hanya sebatas nyanyian yang marak didengungkan ketika ada peristiwa yang mencabik-cabik pengikut risalah Islam tersebut termasuk ketika pergantian tahun baru Hijrah sedang mengalami pergantian. Lihatlah dua kasus beberapa waktu lalu seperti terorisme dan Pemilu di mana secara nyata telah memberikan gambaran bagi umat Islam betapa persatuan hanya sampai tataran nyanyian, karena ternyata kepentingan kelompok termasuk yang sering menyanyikan persatuan umat jauh lebih tinggi nilainya dari tujuan yang sering didengungkan itu.
Dalam kasus terorisme misalnya, ketika ada salah satu mazhab yang secara tidak sengaja diasosiasikan dengan terorisme kelompok lain bukan menunjukkan keprihatinannya malah sibuk cuci tangan bahwa kelompoknya tidak terkait dengan masalah itu. Sikap tersebut jelas bertolak belakang dengan sikap yang Nabi senantiasa tekankan bahwa seorang muslim haruslah seperti badan. Jika salah satu anggotanya merasa sakit semestinya merasa sakit semuanya. Jika sudah demikian, di mana letak saling menguatkannya? Justru saling menghancurkan yang mengemuka.
Tidak jauh berbeda dengan masalah terorisme, persoalan politik ternyata bisa menyibak dengan telanjang betapa persatuan umat sesungguhnya bisa dikatakan tidak ada. Betapa tidak, persoalan spele saja seperti persoalan khilafiyah begitu ampuh menjadi isu keagamaan yang pada ujungnya adalah intoleransi antarsesama umat Islam. Padahal, orang-orang yang sudah jadi dengan pertolongan isu keagamaan itu lupa bahwa akan hal itu meskipun ketika masa-masa berupaya untuk memperolehnya rajin bersorban, berzikir, dan beribadah agar memberikan kesan orang saleh. Meskipun di balik penampilan kesalehan itu karena berafiliasi kepada kelompok tertentu ikut memberikan pemahaman bahwa saya bukan kamu dan kamu adalah berbeda dari saya. Ini menunjukkan, khilafiyah yang secara historis sudah ada sejak Nabi apalagi pada masa sahabat sesuah beliau wafat ditanggapi dengan menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Hal itu diakibatkan lantaran menilai versi yang dipilihnya dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Padahal dalam doktrin sudah disepakati oleh ulama bahwa suatu yang hanya pernak pernik adalah hanyalah satu dari sekian pilihan yang ada. Dan, siapa saja boleh memilih sesuai ketenangan hatinya selama pilihan itu memang tidak ada dalil yang terang tentang kesalahannya.
Berkaitan dengan masalah khilafiyah yang sangat rentan menjadi faktor perseteruan intraumat Islam tersebut orang-orang yang bergerak di bidang dakwah terutama yang menggantungkan hidupnya dalam bidang itu harus mengembangkan wawasan keislamannya. Dan, wawasan keislaman itu tidak akan terbangun hanya karena memperbanyak literature keislaman, namun juga harus memperkaya dengan varian wacana keislaman itu sendiri. Dengan kata lain, wawasan keislam yang akan membuka ruang toleransi kepada sesame khususnya tidak akan terbangun jika yang dikaji hanya yang beraliran Syafi`i atau Hambali meskipun dalam jumlah banyak. Semestinya, baca juga literatur-literatur aliran lain, karena dengan memperkaya varian itu wawasan keterbukaan akan terbangun di mana kemudian diharapkan akan membangun sikap yang terbuka dan memberikan pilihan-pilihan yang sesuai bagi jemaahnya. Jauh lebih penting dari sekedar keterbukaan wawasan itu adalah kebesaran hati untuk menerima kenyataan bahwa Islam tidak monolitik. Dan, oleh karena itu sikap yang harus diambil adalah menjelaskan persoalan perbedaan itu dan kemudian menyerahkan kepada jemaahnya untuk memilih mana yang disukainya. Oleh sebab itu, sangat tidak tepat jika sampai saat ini masalah ditemui penceramah kelompok pengajian yang mempersoalkan qunut, tasayyud (mengucapkan sayyidina), menggerakan telunjuk pada tahyat, dan lain karena semua itu masalah khilafiyah yang tidak merusak esensi dasar Islam.
Berkaitan dengan masalah khilafiyah tersebut, hendaklah nilai-nilai asasilah yang harus dikedepankan agar tidak justru menjadi penghalang bagi upaya menjadikan Islam sebagai rumah besar. Dalam menghadapi masalah, tersebut sikap liberal perlu dikedepankan agar kesepahaman tentang kesamaan keislaman antarsesama muslim bisa dicapai. Sebab, bagaimana pun persoalan khilafiyah yang menurut Nabi rahmah dan itu kemudian banyak dipraktikkan oleh sahabat sifatnya relatif (zhanni). Sehingga klaim rajih atau lebih benar oleh suatu kelompok tidak lepas dari kerangka relativitas itu. Oleh sebab itu, sudah semestinya sikap saling menghargai atas afiliasi pemahaman ditumbuhkembangkan mengingat meskipun ada satu pendapat yang dianggap rajih tidak dengan sendirinya menafikan pendapat lain yang berbeda. Dan, pemilihan suatu pendapat sebagai yang rajih tidak terlpas dari sifat relatif di samping rasa sreg baik pribadi maupun kelompok dalam banyak hal justru lebih mengemuka dibandingkan persoalan dalil yang melatarbelakangi. Apabila sikap liberal tersebut menjadi pilihan dalam menyikapi perbedaan, ungkapan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin akan menemukan wujudnya. Dan, ungkapan itu akan lebih menemukan bentuknya jika nilai mulia itu teraplikasikan di antara sesama pengikut Nabi Muhammad dengan mengenyampingkan khilafiyah seputar penafsiran doktrin dasar Islam.
Mencermati rentannya masalah khilafiyah bagi persatuan umat, barangkali ada baiknya kita merenungkan pernyataan Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah kesempatan. Menurutnya, Islam seperti hutan hutan lebat yang jika dilihat dari jauh (angkasa) terlihat padu dan menyenangkan. Namun, jika hutan itu dimasuki akan ditemui pohon yang beraneka ragama termasuk yang bengkok dan sudah mongering. Akan tetapi, semuanya itu ada penopang bagi keindahan hutang jika dipandang dari jauh. Artinya, Islam sebagai konsekuensi dari apresiasi agama itu terhadap akal, varian pemahaman (khilafiyah) tidak bisa dielakkan karena hal itu sudah sunnahnya. Justru jika ada upaya menghilangkan varian itu dengan dalih untuk menyatukan umat justru melanggar sunnah dan ajaran ramhat agama itu sendiri. Apabila persatuan dalam makna terakhir, persatuan umat hanyala sebuah utopia yang akan pernah tercapai kecuali dengan pemaksaan yang represif.
0 komentar:
Posting Komentar