CERPEN MALAM
>> Kamis, 04 Maret 2010
ORANG-ORANG TENGAH MALAM
Oleh : Afif Afandi
Gerimis memecah keheningan tengah malam. Air yang turun membasahi bumi membuat orang-orang malas untuk keluar dari rumah. Aku tak kuasa menahan perutku yang sejak tadi berteriak keroncongan, menuntut untuk diisi makanan. Kuambil payung di sudut kamar, kupaksa diri untuk melawan dinginnya malam.
Setapak demi setapak kulangkahkan kaki menuju perempatan perumahan, tempat penjual nasi goreng biasanya mangkal. Tak kusangka, banyak sekali orang yang bernasib serupa denganku. Antrean panjang untuk mendapatkan sebungkus nasi goreng Cak Beni terlihat jelas di depan mataku.
"Cak, nasi goreng satu bungkus, tak pedas!" pintaku kepada Cak Beni.
"Siap, Mas! Tunggu sebentar, ya..." jawabnya.
Kuambil kursi plastik yang disediakan Cak Beni untuk memanjakan pelanggan dalam masa penantian. Kekosongan waktu kuisi dengan mengamati pelanggan Cak Beni yang kelaparan, seolah belum makan berhari-hari. Kelakuan itu adalah hal wajar. Sebab, aku adalah anak teater yang sering memainkan berbagai peran sehingga dituntut untuk bisa mendalami karakter peran yang aku mainkan. Toh, tidak ada salahnya jika aku mengamati mereka. Siapa tahu akan ada hikmah yang yang bisa kujadikan pengalaman dan pelajaran.
Aku memfokuskan pandangan ke depan, ke arah pelanggan di samping Cak Beni. Pelanggan itu begitu lapar kiranya. Dia memaksa Cak Beni menggorengkan nasi untuknya. Padahal, kalau kuperhatikan, orang tersebut baru datang. Kucoba menganalisis geliat dan watak orang itu. Sebab, kesukaanku adalah menganalisis geliat orang-orang. Apalagi, geliat orang tersebut aneh sehingga menambah semangatku untuk memperhatikannya.
"Cak, cepat goreng nasinya, dong! Sudah lapar nih..." ucap pelanggan yang tidak sabar itu.
"Sabar, Dik! Antre dulu di belakang. Soalnya, mas-masnya juga sudah antre lama di belakang. Kan tidak enak kalau mereka tahu aku mendahulukan adik yang baru datang," jawab Cak Beni.
"Sudah deh, Cak, akan kubayar lebih untuk nasi goreng yang kau berikan padaku tanpa menunggu antrean lama itu," pinta pelanggan yang tak sabar tersebut.
"Sekali lagi maaf, Dik! Aku tak bisa melakukan hal itu. Apa kata pelangganku nanti? Bisa-bisa mereka lari dan tidak lagi membeli nasi gorengku kalau saya kecewakan. Sekali lagi maaf, lebih baik adik menunggu saja. Tidak akan lama, asal adik sabar dan menikmati masa penantian," ucap Cak Beni.
"Tapi, jangan lama-lama lho, Cak! Perutku sudah keroncongan nih, tak sabar menanti untuk segera diisi," tutur pelanggan itu, yang akhirnya mau mengantre.
Kesabaran memang membosankan. Tapi, jika bisa memahami bahwa kesabaran adalah proses yang harus dijalani dengan senang, niscaya kita benar-benar bisa menikmati masa penantian itu. Setelah memperhatikan pelanggan yang tak sabar tersebut, aku beralih memperhatikan orang-orang di sebelah kiri kursiku. Ada tiga orang yang bercanda sembari menunggu panggilan Cak Beni untuk mendapatkan nasi goreng. Mereka benar-benar larut dalam canda sampai-sampai tidak tahu kalau aku perhatikan. Sesekali aku tersenyum ketika mereka memojokkan salah seorang teman untuk mengakui kebodohan ketika kencan dengan sang kekasih, yakni sering berbuat konyol.
Sesudah memperhatikan tiga orang itu, aku ganti memperhatikan dua sejoli yang duduk di samping kananku. Tampak sekali mereka begitu mesra meski dililit kelaparan yang menganjurkan untuk mengantre lama di bawah gerimis malam ini. Senyum-senyum kecil muncul dari bibir wanita tersebut setelah mendengar janji-janji manis yang diucapkan oleh si cowok.
Bosan melihat mereka, aku mengalihkan pandangan ke arah anak-anak muda yang jongkok di bawah pagar. Bisa ditebak, mereka adalah anak kuliah yang ngekos dan ngontrak. Sebab, tampang mereka sering kujumpai di kampus dan lingkungan sekitar kontrakanku. Begitu sabar mereka mengantre, menunggu nasi goreng Cak Beni. Kucoba menerka apa yang mereka pikirkan sesuai dengan geliat mereka dalam masa penantian. Terbayang olehku kemungkinan mereka dilanda masalah lilitan tagihan listrik, air, dan kontrakan yang belum dilunasi pada akhir bulan ini.
Belum selesai aku memperhatikan geliat orang-orang yang jongkok di bawah pagar, terdengar suara tukang bakso yang berteriak "Bakso, bakso!" sambil memukul kentongan yang dibawa untuk menandai kehadirannya. Tak beberapa menit lamanya, penjual bakso itu sampai di depanku. Dengan logat Malang, dia menyapa Cak Beni.
"Yo opo, Cak? Laris manis?" sapa penjual bakso.
"Iyo, Cak, alhamdulillah!" jawab Cak Beni.
"Ladub ndisek, Cak!"
"Oyi, Cak! Ati-ati!"
Tak kusangka orang setua itu masih punya semangat untuk berjuang melawan dinginnya malam demi sesuap nasi. Gerimis tengah malam tak dia hiraukan sambil meneriakkan kata "Bakso, bakso!" dan memukul kentongan dengan menyusuri jalan, meninggalkan pelanggan Cak Beni yang tak berminat untuk membeli bakso.
Terus kupandangi penjual bakso itu. Di otakku melayang-layang berbagai pertanyaan, mengapa orang setua itu masih berjualan bakso. Memikirkan perjuangan keras penjual bakso itu, aku teringat dengan perjuangan keras orang tuaku di rumah. Demi menguliahkanku di PTN, mereka rela bergelut dengan tanah dan panas matahari di tengah sawah. Mulai pagi sampai sore, mereka memeras keringat untuk mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Namun, apa yang terjadi? Kala panen tiba, harga padi biasanya turun drastis, yang ujung-ujungnya berdampak besar bagi kaum tani dan anak-anak mereka yang nekat berjuang dengan kuliah di PTN.
Bayangan akan pengorbanan orang tuaku di rumah menyadarkanku bahwa aku tak boleh hura-hura dalam bangku kuliah. Selayakya aku mengimbangi pengorbanan mereka dengan bersikap prihatin dan berjuang untuk sukses dalam kuliah. Kerja keras harus kulakukan untuk mendapatkan IPK yang tinggi, meraih kepercayaan dalam organisasi, dan mengukir segala prestasi. Aku tak mau menjadi penjual bakso tua itu, aku juga tak mau menjadi seperti orang tuaku yang terus-terusan bergelut dengan tanah dan sengatan matahari. Aku harus bisa menjadi sarjana sastra dan melanjutkan S-2 di luar negeri. Menuliskan berbagai novel yang laris di pasaran nasional dan internasional.
"Mas, maaf, Mas, ini nasi gorengnya, sudah dibungkus. Seperti biasa, lima ribu rupiah saja," ucap Cak Beni membuyarkan impianku.
"Oh..., terima kasih, Cak !" jawabku.
Aroma lezat yang muncul dari dalam bungkusan nasi goreng membuat nafsu makanku menggelora.Orang-orang di tengah malam yang mengantre bungkusan nasi goreng Cak Beni mulai menyurut. Geliat yang mereka tunjukkan di hadapanku telah menyadarkanku akan keberagaman manusia. Mereka juga telah menyadarkanku akan pentingnya sebuah impian. Sehingga, aku harus segera bangun untuk bergerak dan bertindak dalam mengejar impianku. (*)
Penulis adalah mahasiswa ilmu budaya Universitas Brawijaya
0 komentar:
Posting Komentar