CERPEN BALADA
>> Kamis, 04 Maret 2010
Balada Sepasang Sepatu Usang
Oleh: Yennyka
AKU berlari sekencang-kencangnya, meluncur di antara anak tangga. Kuhampiri rak yang berada di teras rumah. Aku sambar sepatu kets lusuh yang warnanya sudah tidak jelas karena itu satu-satunya sepatu yang aku punya. Kutarik dan kuikat erat-erat talinya.
Mentari sudah menunggu lama untuk menemaniku ke sekolah pagi ini. "Celaka! Bisa telat aku..." kataku kepada diri sendiri. Inilah aku. "Mr Late" adalah trademark yang diberikan oleh teman-temanku.
Tak ada angin tak ada hujan, bimsalabim adakadabra. "CLIIINGGG..." bukan sulap bukan sihir. Sebuah bangunan megah sudah berada di hadapanku, kukuh dan besar.
"Reep" tidak pernah tersasar ketika mengantarku.
Meski dia bukan kendaraan bermesin, tapi dia sanggup berlari secepat kilat dan selalu setia mengantarku ke mana pun aku pergi. Hanya Reep yang sanggup diberikan oleh kedua orang tuaku, sepeda gunung yang masih berdiri tegap walaupun usianya sudah tak muda lagi.
Aku berlari terengah-engah, mendaki tangga demi tangga. Otot kakiku mengeluh, memberikan sinyal yang memanjat ke dinding-dinding pembuluh darahku, merayapi untaian saraf motorik, melompat ke otak, lalu terjun bebas ke indra pengucapku.
Walhasil, lisanku mengeluarkan melodi yang aneh bin ajaib, "Waduh, capek juga ya..!!!" Seketika pori-poriku memberi respons yang luar biasa, menangis sejadi-jadinya, dan akhirnya terproduksilah cairan setengah kental yang bila dicicipi rasanya asin luar biasa. Siiip... Aku menepuk-nepuk dadaku, memuji diri sendiri.
Benar-benar makhluk luar biasa. Lihat saja karena keluarbiasaanku, aku telat luar biasa juga. Kecepatan Reep tak mampu menyaingi rekor tidurku yang tak kenal waktu. Beginilah jadinya.
Puluhan, bahkan mungkin ratusan siswa, telah membentuk deretan-deretan pagar tak terpisahkan. Ratusan siswa itu berderet di depan dan belakang, menggenggam lembaran-lembaran buram. Begitu juga aku. Aku mengantre dengan waswas. Berbagai kemungkinan buruk terlintas. Mulai diusir, ditertawakan, sampai harus hengkang dari tempat ini gara-gara SPP.
Malang sekali nasibku ini. Begitu banyak orang tua yang mampu, ingin menyekolahkan putra-putrinya setinggi langit tapi mereka malah malas-malasan. Sedangkan aku di sini, keinginan setinggi langit tapi sayangaya aku tak bernasib seperti mereka.
Aku harus bekerja paro waktu agar bisa sekolah. Kadang aku iri dengan mereka Aku memang bukan seorang binaragawan yang memiliki bisep dan trisep luar biasa, tapi aku tetap ingin membantu memanggul beban kedua orang tuaku. Mencoba arung jeram kehidupanku sejak dini.
Ibarat sepasang sepatu usang di antara ratusan sepatu mewah, mungkin itulah kiasan yang tepat untukku. Tak pernah ada yang tahu bila aku tak berteriak bahwa terlalu banyak sepatu mewah seperti layaknya kaum borjuis, ingin diberi perhatian lebih seperti kaum bangsawan. Sering sesuatu yang kecil dianggap sepele dan tak berarti.
Mataku bergerak bagai lensa kamera, berputar, berhenti, berputar, fokus pada objek, dan "klik.. klik.. klik..." beberapa gambar pun terjepret. Deretan pagar manusia telah meleleh oleh waktu.
"Berikutnya!" petugs memanggil antrean. Aku menoleh ke belakang dan kulihat ratusan orang di depanku sudah lenyap. Petugas telah memanggil nomorku berkali-kali, tapi aku baru menyadarinya. Sebagai siswa luar biasa, aku selalu waswas bila musim ujian akhir semester telah tiba. Itulah yang membuat nilai-nilaiku amburadul luar biasa.
Setelah musim UAS, nyawaku untuk tetap belajar di sini selalu dipertaruhkan. Tidak seperti anak-anak lain tentunya. Mungkin ada satu dua gelintir yang sepertiku, tapi tentu saja tetap sama, nasib sepatu usang.
Lagi-lagi lensaku tertuju pada sesuatu, mengerikan. Apakah itu? Sebuah kotak kecil dengan deretan kecil kelap-kelip. Bila KTP-ku dimasukkan, ketahuan deh kalau aku belum bayar uang SPP.
Itu adalah mesin ajaib yang sangat kutakuti. Aku tak tahu seperti apa aku harus mendeskripsikannya. Yang mampu menghentikan tinta pena murahanku. Kupejamkan mata, aku ambil napas dalam-dalam. Kugerakkan kaki yang dibelenggu keraguan, perlahan. Mendekati petugas, mesin mengerikan itu. Kuberikan lembaran kertas buramku dan terakhir kartu tanda pelajarku. Ini detik-detik penentuanku, apakah harus tinggal atau hengkang. Dan, inilah saatnya aku harus menentukan nasib sepasang sepatu usangku. ***
Penulis adalah pelajar farmasi Universitas Widya Mandala
0 komentar:
Posting Komentar