Tradisi Silaturohim
>> Kamis, 04 Maret 2010
Mempertahankan Tradisi Silaturohim
Oleh Maghfur Saan
DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka), silaturahmi berarti tali persahabatan (persaudaraan). Bersilaturahmi berarti menyambung tali persahabatan (persaudaraan).
Silaturrohmi itu sendiri merujuk pada gaya pergaulan Islami sebagaimana tertera pada hadis yang sangat populer diriwayatkan oleh Muslim yaitu; Pertama, dari Jubair bin Muthim ra. Dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda. Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (Shahih Muslim 4636).
Kedua, dari Anas bin Malik, Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangnya umurnya maka hendaklah ia menyambung silaturahim (Shahih Muslim 4638).
Tradisi di tanah air, setiap Hari Raya Fitr (Lebaran) dipenuhi dengan kegiatan silaturahim. Tradisi ini positif dalam rangka melaksanakan sunah Nabi sebagaimana di atas. Bahkan di beberapa daerah seperti di Kabupaten Batang dan sekitarnya masih banyak dijumpai tradisi silaturahmi seminggu penuh dimulai 1 Syawal dan ditutup dengan syawalan dengan makan bersama di surau/masjid.
Tradisi tersebut berupa kunjung-mengunjung, yaitu berkunjung ke orang tua, saudara/famili, tetangga, guru/kiai, tokoh, dan sahabat, dari yang dekat hingga yang jauh. Biasanya yang lebih muda mengunjungi yang lebih tua, baik dari segi umur maupun urutan kekerabatan.
Mereka berjabat tangan atau sungkem dengan ucapan-ucapan permohonan maaf, dan yang tua memberi maaf serta doa-doa keselamatan dan keberkahan. Setelah itu menyantap snack yang telah dihidangkan. Bahkan ada yang tuan rumahnya mewajibkan tamu-tamunya makan nasi, lontong, atau ketupat.
Para orang tua menyediakan diri untuk menerima tamu. Mereka tak berani meninggalkan rumah, takut kalau-kalau tamunya kecewa lantaran tak bisa bertemu. Mereka membuka rumah dari pagi hingga sore, bahkan malam.
Meja tamunya dipenuhi oleh berbagai makanan ringan dari yang tradisional hingga produksi pabrikan untuk menjamu para tamu. Yang muda pun mewajibkan diri untuk bertemu dengan yang lebih tua. Jika belum bertemu, seakan-akan menjadi utang yang harus dibayar.
Tak jarang mereka datang dari tempat yang sangat jauh dengan berjalan kaki. Kebanyakan mereka datang secara rombongan bersama kerabat, atau ada juga yang sendiri-sendiri. Uniknya kegiatan tersebut berlangsung selama seminggu.
Full open house
Saya pikir inilah yang benar-benar disebut open house, bahkan full open house. Lantaran untuk bersilaturahmi setiap saat tidak memungkinkan, mereka memanfaatkan kesempatan setiap lebaran untuk silaturahim.
Selain itu mereka juga memanfaatkan silaturahim dalam dua peristiwa yaitu ketika punya khajat (hajatan, mantu) dan ketika ada kematian. Pada ketiga kesempatan itu mereka biasanya bisa bertemu dan silaturahmi dengan kerabat.
Secara sosiologis kegiatan tersebut sangat efektif untuk memperkokoh ikatan kekerabatan, menjalin persaudaraan, dan memperkuat hubungan sosial.
Dilihat dari segi agama, sangat bernilai ibadah karena melaksanakan perintah Allah dalam hal hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia). Mereka melakukannya dengan ikhlas, dan sangat intrinsic.
Ketika bangsa Indonesia sedang dilanda krisis sosial, sering terjadi konflik horisontal, maka silaturahmi model ini sangat diperlukan. Silaturahmi yang melibatkan semua unsur masyarakat tanpa memandang sekat-sekat sosial dan politik, bahkan agama ini mampu memperkokoh hubungan sosial.
Kegiatan tersebut mampu meredam ketegangan sosial hingga ke masyarakat bawah. Biasanya ketegangan akibat konflik sosial seperti berebut sumber daya alam dan ketegangan politik seperti sehabis pilkades, pilkada, dan pemilu berangsur-angsur hilang. Mereka saling memaafkan.
Sehabis silaturahmi, perekat-perekat sosial kembali berfungsi. Sistem sosial kembali normal. Apalagi sistem sosial pedesaan yang mengutamakan kekerabatan, guyub, tolong-menolong, dan gotong-royong.
Bukan masalah efisiensi
Seiring dengan bergesernya nilai, silaturahmi full open house mulai dikritisi dengan kalkulasi ekonomi, yaitu silaturahim yang secara ekonomis efisien. Kemudian muncul silaturahmi massal, misalnya silaturahmi keluarga besar famili si Anu atau silaturahmi anggota pengajian Anu yang diselenggarakan hanya dua atau tiga jam saja dengan mendengarkan ceramah atau pengajian.
Kelompok-kelompok yang mendasari kepentingan atau profesi yang sama, seperti paguyuban olahraga, kesenian, guru, pamong desa, para eksekutif, dan politisi juga ikut-ikutan mengadakan silaturahim massal tersebut.
Tetapi menurut saya, makna silaturahimnya jauh lebih kecil dibanding dengan silaturahmi tatap muka langsung satu-persatu. Silaturahmi massal hanya sekadar menjadi komunikasi yang impersonal.
Komunikasi cuma bicara tentang interaksi dan korelasi. Jadi sangat kering dan tidak bisa menyentuh makna silaturahmi yang sesungguhnya. Meski dikatakan efisien, tapi tidak efektif.
Sedang silaturahmi bicara dengan sentuhan Tuhan, lantaran bagian dari ibadah. Pengakuan kesalahannya diucapkan secara tatap muka langsung dengan bahasa yang sangat personal dan dalam kesaksian Tuhan. Keduanya akan tersentuh dan saling membuka hati masing-masing. Lembaran baru benar-benar menghampar di muka mereka berdua.
Dewasa ini muncul usaha membisniskan silaturahmi. Di beberapa daerah perkotaan hingga pedesaan tampak kegiatan yang berlabel silaturahmi tapi sesungguhnya hanya untuk mengeruk keuntungan.
Ambil contoh seperti pagelaran musik menyambut lebaran atau sebangsanya. Mereka mengumpulkan anak-anak muda pada hari pertama lebaran atau hari-hari berikutnya dengan memungut karcis masuk. Tidak jarang acaranya malahan berakhir dengan kericuhan. Kegiatan semacam ini jelas bertentangan dengan makna silaturahmi itu sendiri.
Hal lain yang sesungguhnya bisa mengganggu nilai silaturahmi adalah silaturahmi untuk kepentingan politik. Menjelang pilkades, pilkada, atau pemilu, silaturahim dibelokkan menjadi ajang kampanye. Dalam silaturahmi tersebut (meski labelnya pengajian sekalipun) berisi kebohongan-kebohongan dan menjelek-jelekkan orang atau kelompok lain. Nauzubillahi mindalik!
Jadi menurut saya, biarkan tradisi silaturahmi full open house ala pedesaan seperti di Kabupaten Batang itu tetap lestari dan berjalan sebagaimana adanya.
(Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial, budaya, dan politik)
0 komentar:
Posting Komentar