DIARY CERPEN
>> Kamis, 04 Maret 2010
MEMORI SEBUAH DIARY
AKU hanyalah seorang gadis biasa. Tidak sepintar Andin yang memenangi Olimpiade Matematika se-Indonesia. Tidak secantik Inne yang sering menjuarai kompetisi model. Tidak sekaya Citra yang sering berganti-ganti handphone hanya untuk mengikuti tren. Aku adalah aku. Dida yang nilainya pas-pasan. Dida yang memiliki tampang biasa saja. Dida yang tidak pernah membuang uangnya untuk hal yang tidak penting. Ya, itulah aku. Tapi, aku senang mempunyai banyak teman. Mereka bilang aku memang asyik. Tapi, aku tidak bisa menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Di depan mereka, aku selalu tertawa, bertingkah konyol bahkan gila. Mereka tertawa melihatku begitu. Tanpa mengetahui apa yang sebenarnya aku rasakan. Tanpa mengetahui betapa rapuhnya aku, betapa sakitnya aku. Hanya dengan sebuah bolpoin dan sebuah buku diary, aku bisa menceritakan semuanya. Menulis puisi adalah salah satu alternatif untuk mengungkapkannya. Diary-lah pemegang kunci hatiku yang sebenarnya, tempat untuk mencurahkan segala isi hatiku, yang bisa menyimpan rahasiaku rapat-rapat.
Diary,
Hari ini aku bingung. Dia mengungkapkan perasaannya dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Sebagian kecil hatiku merasa senang, namun sebagian yang lain ragu. Aku tidak yakin atas semua pengakuannya itu. Selama ini kami hanya bersahabat. Rasa sayangku padanya hanya sebagai sahabat. Tiba-tiba dia menembakku seperti itu, bagaimana aku tidak kaget? Bayangkan saja, seorang Dafi yang biasanya mengincar gadis-gadis cantik, yang lebih eksis, mendadak melirik gadis sepertiku? Tuluskah cinta itu? Haruskah aku menerima cintanya?
Diary,
Aku menerima cintanya. Setelah aku pikir baik-baik, mungkin memang begini seharusnya. Dia membuatku percaya dengan tulus cintanya. Dia meyakinkanku bahwa dia tidak akan menyakitiku ataupun meninggalkanku. Sebuah janji yang sederhana namun manis. Aku suka sekali. Aku harap keputusanku ini tidak salah. Aku harap rasa sayang ini bisa lebih dari sekadar sahabat atau bahkan berubah menjadi cinta.
Diary,
Semakin lama aku semakin sayang padanya. Dia bisa membuatku merasa bahagia, merasa dicintai, bahkan aku tidak pernah menangis lagi. Dia memberikan warna dalam hidupku. Dia menghapus semua air mataku. Dia membuat hidupku lebih terang daripada sebelumnya. Dia membantuku keluar dari gua ketakutanku. Sungguh aku bahagia sekali. Tidak pernah kurasakan hidupku sesempurna ini. Aku harap ini untuk selamanya, tidak hanya sementara. Tuhan, terima kasih telah menciptakannya untukku.
Diary,
Kamu tau, rasanya hari ini aku melayang ke langit ketujuh. Dia mengajakku menonton bioskop hari ini. Selama film diputar, dia tak pernah melepaskan genggamannya dari tanganku. Sesekali dia mengusap pipi kananku sambil tersenyum. Senyumannya manis sekali, semanis gula kapas. Aku memberanikan diri untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Betapa nyamannya saat aku berada di sampingnya. Sungguh aku tidak ingin ini semua berakhir. Aku ingin selamanya begini. Lagi-lagi dia tersenyum manis. Kamu tau diary, senyumannya membuatku semangat untuk menjalani hari-hariku karena aku tau dia ada bersamaku.
Diary,
Aku merasa ada yang beda. Sikap Dafi sudah tidak seperti dulu. Dia lebih sering marah dan jadi pendiam. Kami sering bertengkar. Padahal dua hari lagi kami sudah sebulan jadian. Ada apa dengannya? Apakah ada gadis lain di hatinya? Atau, ini adalah pertanda bahwa semua ini akan berakhir?
Diary,
Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Hubungan kami berakhir di sini. Tanpa alasan yang jelas. Sebuah kisah yang telah dirangkai dengan indah berakhir menyedihkan. Mimpi dan harapan hilang begitu saja. Sakit rasanya. Aku tak bisa berhenti menangis. Diary, tolong aku!
Diary,
Ada luka besar di dalam hatiku. Ternyata secepat itu dia melupakanku. Ternyata secepat itu dia mencari penggantiku. Ada yang bilang bahwa dia sudah mempunyai incaran lain dan itu adalah temannya sendiri. Sebelumnya aku juga merasa ada yang beda di antara mereka. Dafi lebih sering ada untuknya, bukan untukku. Ternyata inilah jawabannya.
Diary,
Aku terkejut saat melihat bayangan diriku di kaca. Aku menyeramkan! Mataku bengkak dan entahlah, mukaku tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Akhir-akhir ini aku sering menangis karena merindukannya. Aku merindukan setiap waktu bersamanya. Aku merindukan semua kata-kata sayangnya. Aku merindukan perhatiannya, senyumannya, canda tawanya. Aku merindukan semua tentang dirinya. Namun, apakah dia merindukanku? Entah, aku tidak tau. Kemudian lagu kita berdua bernyanyi lembut di telingaku. Ingatkah dia?
Diary,
Aku bertemu dengannya, aku bertemu dengannya! Aku senang sekali, akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Tapi, aku tau keadaannya sudah berbeda. Ada tembok besar yang memisahkan kami. Walau dia hanya berjarak 2 meter di sampingku, aku merasa bahwa kami jauh sekali. Dia memanggil namaku dan tersenyum padaku. Aku hanya bisa mengangguk. Tuhan, senyum itu. Senyum yang selalu aku rindukan. Perlahan air mataku menetes, namun segera aku hapus. Aku tidak mau dia melihatku meneteskan air mata.
Diary,
Luka yang ada di hatiku semakin besar. Dia telah mengungkapkan perasaannya kepada gadis yang dicintainya. Aku tidak tau apa jawaban gadis itu. Tapi, aku tau ini pertanda yang tidak baik untukku. Aku tau dia bahagia, bahagia dengan gadis itu, tapi hatiku masih belum bisa merelakannya. Aku bahagia bila melihatnya bahagia, aku bahagia jika memang dengan bersamanya dia bahagia. Aku cukup bahagia atau mungkinkah?
Diary,
Lagi-lagi aku menangis. Aku membaca puisi yang dia berikan untuk gadis itu. Hatiku teriris saat membacanya. Ternyata sedalam itu cintanya pada gadis itu. Aku tidak mau menjadi pengganggu dalam hidup mereka. Namun, aku belum bisa mekangkahkan kakiku dari sini. Aku masih ingin bertahan, aku tidak ingin menyerah namun rasa lelah menyerangku, masuk ke dalam relung-relung tubuhku. Mengikat erat tubuhku sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Diary,
Aku menyerah. Aku hanya bertahan pada harapan-harapan kosong. Aku tau harapan itu hanya sebuah harapan, yang tak akan pernah terwujud. Semua ini akan terus berjalan ke depan, tak akan pernah kembali. Dia hanyalah sebuah bintang jatuh yang tergelincir jatuh dari tanganku dan tak akan pernah bisa aku tangkap. Dia hanyalah reruntuhan kapal yang tenggelam ke dasar laut dan tak akan pernah bisa aku ambil. Dia hanyalah sebuah daun yang berada di pucuk pohon paling tinggi dan tak akan pernah bisa aku raih. Jarak yang ada antara aku dan dia sangatlah panjang, melebihi jarak antara kutub utara dan kutub selatan. Semakin aku mengejarnya, semakin dia jauh. Karena yang dia lakukan hanyalah berjalan menjauhiku. Pergi sejauh-jauhnya dariku. Dan, yang tersisa hanyalah aku dan bayangnya dalam kegelapan.
Diary,
Satu hal yang pasti, aku menyayanginya. Dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.
Rita Ardianti, pelajar SMAN 4 Surabaya
Diary,
Hari ini aku bingung. Dia mengungkapkan perasaannya dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Sebagian kecil hatiku merasa senang, namun sebagian yang lain ragu. Aku tidak yakin atas semua pengakuannya itu. Selama ini kami hanya bersahabat. Rasa sayangku padanya hanya sebagai sahabat. Tiba-tiba dia menembakku seperti itu, bagaimana aku tidak kaget? Bayangkan saja, seorang Dafi yang biasanya mengincar gadis-gadis cantik, yang lebih eksis, mendadak melirik gadis sepertiku? Tuluskah cinta itu? Haruskah aku menerima cintanya?
Diary,
Aku menerima cintanya. Setelah aku pikir baik-baik, mungkin memang begini seharusnya. Dia membuatku percaya dengan tulus cintanya. Dia meyakinkanku bahwa dia tidak akan menyakitiku ataupun meninggalkanku. Sebuah janji yang sederhana namun manis. Aku suka sekali. Aku harap keputusanku ini tidak salah. Aku harap rasa sayang ini bisa lebih dari sekadar sahabat atau bahkan berubah menjadi cinta.
Diary,
Semakin lama aku semakin sayang padanya. Dia bisa membuatku merasa bahagia, merasa dicintai, bahkan aku tidak pernah menangis lagi. Dia memberikan warna dalam hidupku. Dia menghapus semua air mataku. Dia membuat hidupku lebih terang daripada sebelumnya. Dia membantuku keluar dari gua ketakutanku. Sungguh aku bahagia sekali. Tidak pernah kurasakan hidupku sesempurna ini. Aku harap ini untuk selamanya, tidak hanya sementara. Tuhan, terima kasih telah menciptakannya untukku.
Diary,
Kamu tau, rasanya hari ini aku melayang ke langit ketujuh. Dia mengajakku menonton bioskop hari ini. Selama film diputar, dia tak pernah melepaskan genggamannya dari tanganku. Sesekali dia mengusap pipi kananku sambil tersenyum. Senyumannya manis sekali, semanis gula kapas. Aku memberanikan diri untuk menyandarkan kepalaku di bahunya. Betapa nyamannya saat aku berada di sampingnya. Sungguh aku tidak ingin ini semua berakhir. Aku ingin selamanya begini. Lagi-lagi dia tersenyum manis. Kamu tau diary, senyumannya membuatku semangat untuk menjalani hari-hariku karena aku tau dia ada bersamaku.
Diary,
Aku merasa ada yang beda. Sikap Dafi sudah tidak seperti dulu. Dia lebih sering marah dan jadi pendiam. Kami sering bertengkar. Padahal dua hari lagi kami sudah sebulan jadian. Ada apa dengannya? Apakah ada gadis lain di hatinya? Atau, ini adalah pertanda bahwa semua ini akan berakhir?
Diary,
Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi juga. Hubungan kami berakhir di sini. Tanpa alasan yang jelas. Sebuah kisah yang telah dirangkai dengan indah berakhir menyedihkan. Mimpi dan harapan hilang begitu saja. Sakit rasanya. Aku tak bisa berhenti menangis. Diary, tolong aku!
Diary,
Ada luka besar di dalam hatiku. Ternyata secepat itu dia melupakanku. Ternyata secepat itu dia mencari penggantiku. Ada yang bilang bahwa dia sudah mempunyai incaran lain dan itu adalah temannya sendiri. Sebelumnya aku juga merasa ada yang beda di antara mereka. Dafi lebih sering ada untuknya, bukan untukku. Ternyata inilah jawabannya.
Diary,
Aku terkejut saat melihat bayangan diriku di kaca. Aku menyeramkan! Mataku bengkak dan entahlah, mukaku tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Akhir-akhir ini aku sering menangis karena merindukannya. Aku merindukan setiap waktu bersamanya. Aku merindukan semua kata-kata sayangnya. Aku merindukan perhatiannya, senyumannya, canda tawanya. Aku merindukan semua tentang dirinya. Namun, apakah dia merindukanku? Entah, aku tidak tau. Kemudian lagu kita berdua bernyanyi lembut di telingaku. Ingatkah dia?
Diary,
Aku bertemu dengannya, aku bertemu dengannya! Aku senang sekali, akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Tapi, aku tau keadaannya sudah berbeda. Ada tembok besar yang memisahkan kami. Walau dia hanya berjarak 2 meter di sampingku, aku merasa bahwa kami jauh sekali. Dia memanggil namaku dan tersenyum padaku. Aku hanya bisa mengangguk. Tuhan, senyum itu. Senyum yang selalu aku rindukan. Perlahan air mataku menetes, namun segera aku hapus. Aku tidak mau dia melihatku meneteskan air mata.
Diary,
Luka yang ada di hatiku semakin besar. Dia telah mengungkapkan perasaannya kepada gadis yang dicintainya. Aku tidak tau apa jawaban gadis itu. Tapi, aku tau ini pertanda yang tidak baik untukku. Aku tau dia bahagia, bahagia dengan gadis itu, tapi hatiku masih belum bisa merelakannya. Aku bahagia bila melihatnya bahagia, aku bahagia jika memang dengan bersamanya dia bahagia. Aku cukup bahagia atau mungkinkah?
Diary,
Lagi-lagi aku menangis. Aku membaca puisi yang dia berikan untuk gadis itu. Hatiku teriris saat membacanya. Ternyata sedalam itu cintanya pada gadis itu. Aku tidak mau menjadi pengganggu dalam hidup mereka. Namun, aku belum bisa mekangkahkan kakiku dari sini. Aku masih ingin bertahan, aku tidak ingin menyerah namun rasa lelah menyerangku, masuk ke dalam relung-relung tubuhku. Mengikat erat tubuhku sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Diary,
Aku menyerah. Aku hanya bertahan pada harapan-harapan kosong. Aku tau harapan itu hanya sebuah harapan, yang tak akan pernah terwujud. Semua ini akan terus berjalan ke depan, tak akan pernah kembali. Dia hanyalah sebuah bintang jatuh yang tergelincir jatuh dari tanganku dan tak akan pernah bisa aku tangkap. Dia hanyalah reruntuhan kapal yang tenggelam ke dasar laut dan tak akan pernah bisa aku ambil. Dia hanyalah sebuah daun yang berada di pucuk pohon paling tinggi dan tak akan pernah bisa aku raih. Jarak yang ada antara aku dan dia sangatlah panjang, melebihi jarak antara kutub utara dan kutub selatan. Semakin aku mengejarnya, semakin dia jauh. Karena yang dia lakukan hanyalah berjalan menjauhiku. Pergi sejauh-jauhnya dariku. Dan, yang tersisa hanyalah aku dan bayangnya dalam kegelapan.
Diary,
Satu hal yang pasti, aku menyayanginya. Dulu, sekarang, dan entah sampai kapan.
Rita Ardianti, pelajar SMAN 4 Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar