Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

JILBAB

>> Kamis, 04 Maret 2010

Fenomenologi Jilbab
Ole Dr H Rohadi Abdul Fatah, MAg


JILBAB merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama, sebuah manuskrip hukum keluarga paling tua sepanjang penemuan arkeologi, diperkirakan berumur 3000 SM, kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2000 SM) dan Code Asyriria (1500 SM). Pasal-pasal yang lebih jelas tentang jilbab dapat dilihat di dalam Code Asyria yang dianggap kelanjutan code-code sebelumnya.
Menurut Morris Jastrow dalam Veiling in Ancien Assyria, peraturan mengenai jilbab sudah ditegakkan di kota-kota tua sekitar Mesopotamia dan Babilonia, terutama Assur, ibukota Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik.
Sebaliknya perempuan budak dan prostitusi tidak boleh menggunakannya. Jilbab merupakan simbol perlengkapan (sign of appurtunance) bagi seorang istri yang punya suami atau anak gadis yang punya ayah awal wali. Lambat laun, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas di dalam masyarakat.
Komunitas yang tidak menggunakannya dianggap perempuan kelas bawah atau tidak terhormat. Bahkan Emile Mramorstein dalam The Veil in Judaism and Islam menambahkan, motif, warna dan model tertentu juga disesuaikan dengan kelas masyarakat.

Bukan tradisi Arab
De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l\'Orient Ancient, dikatakannya, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab. Bahkan fenomena jilbab juga bukan merupakan bagian dari Talmud dan Bibel.
Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Rebekeh yang mengenakan jilbab (Kitab kejadian penting Bab 24:64,65), berasal dari etnik Mesopotamia, yang memang jilbab menjadi pakaian adatnya.
Jilbab pada mulanya tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perepuan merupakan tradisi Hellinistik-Bizantium. Kedua tradisi ini menyebar menembus batas-batas geokultural melalui wilayah-wilayah jajahan kedua adidaya tersebut. Tidak terkecuali bagian utara dan timur jazirah Arab, seperti Damaskus dan Baghdad.
Menurut Fadwa el-Guindi dalam Veil Modesty, Privacy, and Resistance, wacana jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban hellenisme dan persia di zaman Muawiyah dan Abbasiyah. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costom), mendapatkan kepastian hukum (instituonalize),pakaian wajib bagi perempuan Islam.

Pengertian jilbab
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia sudah lebih populer dengan jilbab, menggeser kosa kata \"kerudung.\" Jilbab berasal dariakar kata jalaba berarti menghimpun dan membawa. Jilbab menjadi istilah untuk pakaian luar (the outer costume), pakaian lebar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hinga kaki.
Jilbab dalam arti penutup kepala hany dikenal di Indonesia, terutama sejak tahun 1980-an. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libia, abaya d Irak.
Charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika, seperti di Mesir, Sudan dan Yaman. Hanya saja Fatimah Mernissi dalam Beyond the Veil Male-Female Dinamics in Modern Muslim Society, mempermasalahkan pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir (the gorden), tetapi pada abad ke 4 H berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan.
Jenis pakaian Arab di dalam Encyclopedi Islam tidak kurang dari 100 macam. Namun yang penting ditelusuri jenis dan pengertian beberapa istilah penutup kepala perempuan pada masa Nabi. Untuk melacak istilah tersebut kita perlu melihat penggunaan istilah-istilah itu di dalam syair-syair Jahiliyah. Koleksi syair klasik seperti Diwan \'Antara ibn Shaddaq dan Mufadldlaliyyat, dapat ditemukan sejumlah pakaian perempuan sebagai berikut: burqu\', kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata; niqab, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna\'ah, kerudung mini yang menutupi kepala; qina\', kerudung lebih besar; litsam atau nishaf, kerudung lebih panjang atau selendang; khimar, istilah generik untuk semua pakaian penutup kepala dan leher, jilbab, pakaian luar seperti dijelaskan di atas.

Jilbab dalam Al-Qur\'an dan Hadis
Ada dua istilah populer digunakan Al-Qur\'an untuk penutup kepala, yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat generik. Kata khumur bentuk jamak dari khimar, dan kata jalabib bentuk jamak dari kata jilbab.
Artinya: 31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: \"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nur/24:31).
Artinya: 59. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin. \"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya (1232) ke seluruh tubuh mereka.\" Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS al-Ahdzab/33:59).
Al-Qur\'an dan hadist memang tidak pernah menyinggung bentuk pakaian secara khusus mengenai penutup muka, bahkan dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak ada satupun disangkut pautkan dengan unsur-unsur mitologi dan strata sosial.
Dua ayat disinggung di atas merupakan tanggapan terhadap kasus tertentu yang terjadi di masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimbulkan perbedaan di kalangan ulama Ushul Fikih; apakah yang dijadikan pegangan lafaznya yang bersifat umum, atau sebab turunnya yang bersifat khusus (hal al-\'ibrah bi \'umum al-lafz au bi khushush al-sabab).

(Penulis adalah Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama)


0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP