Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

CERPEN KENANGAN

>> Kamis, 04 Maret 2010

Kenangan Indah Bersama Dia
Oleh: Neetha Hakim

Peristiwa ini tidak akan pernah aku lupakan. Sudah dua tahun berlalu, tapi masih terekam dalam otakku. Kejadian itu, tiap detik, tiap menit, tiap jam, masih kuingat dengan jelas. Saat masih kelas 1 SMA, aku tinggal di Bandung dan berkenalan dengan seorang anak kelas 2, yang kata teman-temanku keren. Waktu kucoba berkenalan, ternyata anaknya ramah juga.

Tanpa terasa, hubunganku dengannya semakin dekat. Pertengahan semester 2, dia menyatakan perasaan kepadaku. Aku mengiyakan.

Hingga kenaikan kelas, hubungan kami baik-baik saja. Meski, saat itu aku malah kebanyakan pikiran. Tidak ingin stres dengan pikiran-pikiran itu, kuputuskan untuk mencoba hal baru, yaitu basket.

Suatu Minggu, ada acara di sekolah yang harus diikuti para murid. Saat itu pacarku mengajakku bicara. Sudah lama kami tidak bicara. Jadi, banyak sekali yang kami ceritakan. Saat itu dia bercerita bahwa dia mau ke Surabaya, kembali ke kota kelahiran. Dia mau kuliah di sana.

Kala itu aku hanya bergumam tanpa bicara. Walau sejujurnya, dalam hati ada rasa kecewa besar yang menyelimuti. Kemudian, aku menanyakan kelanjutan hubungan kami. Dia diam. Lalu, aku bertanya, "Apa kita jadi teman saja?" Walau sekali lagi dalam hati, aku menyesal telah mengatakannya. Itu hal bodoh yang sudah kulakukan. Tapi, aku memang tak ingin lari dari masalah. Aku butuh kepastian, bukan harapan. Sebab, aku tahu, dia akan menetap di sana.

Dia bergumam, "Teman, ya?"

"Hmm, kalau menurut kamu itu baik, aku nggak apa-apa."

Aku tertohok dengan jawaban itu. Aku menyerah. Padahal, sesungguhnya aku ingin dia bilang "jangan", tapi sepertinya sulit. Itu nggak mungkin. Dia toh tampak biasa saja. Saat mengatakan itu, sama sekali nggak ada raut tidak rela.

"Kita masih bisa komunikasi, kan? Kamu masih akan main ke Bandung, kan?" Aku sengaja bertanya walaupun aku tahu bahwa komunikasi itu tak mungkin bisa berjalan terus.

"Ya, tentu saja," jawabnya sambil meninggalkan senyum terakhir yang amat kusukai.

"Kalau begitu, status pacaran kita berakhir sebulan lagi. Kamu berusaha, ya?" ucapku memberikan semangat. Tapi, dalam dadaku rasanya ingin berkelit. Aku ingin menghalanginya pergi.

"Ya, makasih!"

Tanpa terasa, sebulan sudah berlalu dan aku mengantarnya pergi ke stasiun.

"Hati-hati di sana, ya, kasih kabar kalau sudah sampai," kataku enggan. "Dahhh..." Aku melepaskannya untuk selamanya.

Kereta api berjalan lambat, menorehkan luka di hatiku. Kali terakhir, dia mengumbar senyum kepadaku, membuatku mengingat masa pacaran dulu.

Kereta sudah berangkat. Dia melambaikan tangan kepadaku. Aku keluar dari stasiun. Aku berusaha tidak mengeluarkan air mataku yang sudah menggenang. Saat aku berjalan, di depanku berdiri seorang laki-laki. Aku menengadah, terlihat sosok jangkung itu. Dia pemain inti basketku.

"Kamu kok di sini?" tanyaku heran.

"Kamu habis ngantar pacarmu, ya?" Dia malah balik bertanya, nggak menjawab pertanyaanku. "Kok nggak nangis?"

"Nangisnya sekarang," kataku.

"Kamu aneh. Kalau mau nangis, kenapa nggak di depannya?"

"Aku nggak mau kelihatan sedih!"

"Tapi, memang sedih, kan?" desaknya memperburuk keadaan. Aku menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Tapi, sejujurnya, hatiku masih tertambat padanya," kataku sedikit mencurahkan perasaan.

"Kok gitu? Nggak bisa buat aku, ya?"

Aku mendongak, agak mendelik dengan ucapannya. Tapi, aku berusaha sok tenang.

"Enak saja!" jawabku sok jual mahal.

"Ya sudah, kalau nggak bisa, berarti aku harus nunggu kamu," katanya enteng.

"Bodoh, makan, nih!" Aku tendang kakinya. Dia bersungut-sungut. ***

Penulis adalah pelajar ITS.

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP