CERPEN IBU
>> Kamis, 04 Maret 2010
MAAFKANAKU IBU
PAGI ini mentari bersinar begitu cerah, tapi wajah si Nia bersinar tak secerah mentari. Tak tahu, apa yang sedang dirasakan si wajah manis ini? Sejak kepergian ayahnya, dia selalu murung di kamar. Akhir-akhir ini dia selalu marah-marah kepada orang yang ada di rumah, terutama ibunya.
Sejak kecil dia selalu dimanja oleh ayahnya. Sekarang dia kelas 3 SMA. Sebenamya dia masuk SMA karena ingin kuliah. Tapi karena tak ada biaya unt-uk kuliah, ibunya menyarankan dia berhenti sekolah. Nia tidak terima semua keputusan sang ibu. Keadaan ekonomi ibunya semakin memburuk karena tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tulang punggung keluarga.
Sekarang keluarga Nia jatuh miskin, tidak seperti dulu. Itu membuat Nia putus harapan. Dia berontak dengan kejadian itu. Setiap hari kerjaannya cuma main melulu. Suatu hari, saat Nia baru pulang dari main, ibunya menasihati, "Nia, kamu itu kan sudah besar, kamu kan bisa berpikir lebih dewasa. Sebaiknya kamu itu jangan main terus. Ya, kalau bisa kan kerjaan buat bantu nambah penghasilan ibu, buat biaya sekolah adikmu. Adikmu kan masih SMP, perlu banyak biaya."
"Apa, Bu? Biayain adik sekolah? Dia disuruh keluar sekolah aja kayak aku. Aku aja mau sekolah nggak boleh, kenapa dia yang nerusin sekolah? Lagian, sekolah hanya buang-buang duit aja kan? Sekolah buat apa kalau jadinya pengangguran kayak gini," omel Nia.
"Nia, kamu ngomong apa, tho? Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, mungkin ini cobaan buat kita. Siapa tahu setelah kejadian ini kita dapat hikmahnya, ya kan?" kata ibu. "Cobaan, cobaan, cobaan trus, kapan sih, enaknya? Ayah meninggal, trus kita miskin, trus besok apa lagi?" Nia makin panas. "Astaghfirullah. istighfar, Nia," ibunya mengelus dada. "Nak, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, kamu tau nggak? Semakin kuat iman seseorang, cobaannya semakin berat," jelas ibu.
Suatu hari, ada seseorang yang menawari Nia pekerjaan di luar negeri dengan iming-iming gaji 5 juta rupiah per bulan. Tapi untuk berangkat ke luar negeri, dia harus membayar kepada pemberi kerja sebesar sepuluh juta. Ibunya tidak menyetujui hal itu. Sebab, selain tidak punya uang untuk membayar biaya keberangkatannya, sang ibu tidak rela kalau Nia jauh dari perhatiannya.
Ibu khawatir kalau dia dijadikan TKW dan akhirnya disiksa. Tapi, Nia tetep ngotot. Dengan terpaksa, ibu mencarikan biaya ke sana kernari. Setelah diberangkatkan ke luar negeri, Nia memang dipekerjakan sebagai TKW. Parahnya, Nia juga dipukuli dan disiksa oleh majikannya. Setelah beberapa tahun dia bekerja, hasil yang didapatnya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk keberangkatannya, hingga suatu saat dia berhasil kabur dari majikannya.
Akhimya dia langsung menuju tempat tinggalnya. Namun, ketika sampai, rurnahnya nggak lagi dihuni ibu dan adik. Kata penghuni rurnah, rumah itu dijual setahun yang lalu. Pemilik rumah tak tahu ke mana mereka pergi. Keesokan harinya ketika bertanya kepada salah seorang warga, dia dapat informasi bahwa ibunya sudah meninggal lima bulan lalu. Warga itu juga menyebutkan bahwa rumah itu dijual buat melunasi utang untuk biaya transpor Nia ke luar negeri.
Kini juga belum diketahui adiknya di mana. Mendengar itu semua, Nia sangat terpukul dan menyesal telah melukai hati sang ibu. Nia langsung menuju makam ibu, ia menangis. Kebetulan hari itu tanggal 22 Desember bertepatan dengan Hari Ibu. "Bu... maafkan aku selama ini yang sudah membuat Ibu menderita. Aku tahu Ibu lakukan itu semua karena Ibu sayang sama Nia. Tapi, Nia tak pernah mau mengerti perasaan Ibu. Bu..., seandainya aku tahu kejadiannya bakal kaya gini, mungkin aku akan turuti kata Ibu. Tapi, semuanya sudah terjadi. Hari ini tepat 22 Desember di Hari Ibu. Setulus hatiku terucap kata mohon maaf kepada Ibu. Semoga di sana Ibu hidup lebih tenang. Maafkan aku, Ibu. ***
Ninik Sugiyanti, Pelajar SMKN 3 Surakarta
Sejak kecil dia selalu dimanja oleh ayahnya. Sekarang dia kelas 3 SMA. Sebenamya dia masuk SMA karena ingin kuliah. Tapi karena tak ada biaya unt-uk kuliah, ibunya menyarankan dia berhenti sekolah. Nia tidak terima semua keputusan sang ibu. Keadaan ekonomi ibunya semakin memburuk karena tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tulang punggung keluarga.
Sekarang keluarga Nia jatuh miskin, tidak seperti dulu. Itu membuat Nia putus harapan. Dia berontak dengan kejadian itu. Setiap hari kerjaannya cuma main melulu. Suatu hari, saat Nia baru pulang dari main, ibunya menasihati, "Nia, kamu itu kan sudah besar, kamu kan bisa berpikir lebih dewasa. Sebaiknya kamu itu jangan main terus. Ya, kalau bisa kan kerjaan buat bantu nambah penghasilan ibu, buat biaya sekolah adikmu. Adikmu kan masih SMP, perlu banyak biaya."
"Apa, Bu? Biayain adik sekolah? Dia disuruh keluar sekolah aja kayak aku. Aku aja mau sekolah nggak boleh, kenapa dia yang nerusin sekolah? Lagian, sekolah hanya buang-buang duit aja kan? Sekolah buat apa kalau jadinya pengangguran kayak gini," omel Nia.
"Nia, kamu ngomong apa, tho? Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, mungkin ini cobaan buat kita. Siapa tahu setelah kejadian ini kita dapat hikmahnya, ya kan?" kata ibu. "Cobaan, cobaan, cobaan trus, kapan sih, enaknya? Ayah meninggal, trus kita miskin, trus besok apa lagi?" Nia makin panas. "Astaghfirullah. istighfar, Nia," ibunya mengelus dada. "Nak, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu, kamu tau nggak? Semakin kuat iman seseorang, cobaannya semakin berat," jelas ibu.
Suatu hari, ada seseorang yang menawari Nia pekerjaan di luar negeri dengan iming-iming gaji 5 juta rupiah per bulan. Tapi untuk berangkat ke luar negeri, dia harus membayar kepada pemberi kerja sebesar sepuluh juta. Ibunya tidak menyetujui hal itu. Sebab, selain tidak punya uang untuk membayar biaya keberangkatannya, sang ibu tidak rela kalau Nia jauh dari perhatiannya.
Ibu khawatir kalau dia dijadikan TKW dan akhirnya disiksa. Tapi, Nia tetep ngotot. Dengan terpaksa, ibu mencarikan biaya ke sana kernari. Setelah diberangkatkan ke luar negeri, Nia memang dipekerjakan sebagai TKW. Parahnya, Nia juga dipukuli dan disiksa oleh majikannya. Setelah beberapa tahun dia bekerja, hasil yang didapatnya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk keberangkatannya, hingga suatu saat dia berhasil kabur dari majikannya.
Akhimya dia langsung menuju tempat tinggalnya. Namun, ketika sampai, rurnahnya nggak lagi dihuni ibu dan adik. Kata penghuni rurnah, rumah itu dijual setahun yang lalu. Pemilik rumah tak tahu ke mana mereka pergi. Keesokan harinya ketika bertanya kepada salah seorang warga, dia dapat informasi bahwa ibunya sudah meninggal lima bulan lalu. Warga itu juga menyebutkan bahwa rumah itu dijual buat melunasi utang untuk biaya transpor Nia ke luar negeri.
Kini juga belum diketahui adiknya di mana. Mendengar itu semua, Nia sangat terpukul dan menyesal telah melukai hati sang ibu. Nia langsung menuju makam ibu, ia menangis. Kebetulan hari itu tanggal 22 Desember bertepatan dengan Hari Ibu. "Bu... maafkan aku selama ini yang sudah membuat Ibu menderita. Aku tahu Ibu lakukan itu semua karena Ibu sayang sama Nia. Tapi, Nia tak pernah mau mengerti perasaan Ibu. Bu..., seandainya aku tahu kejadiannya bakal kaya gini, mungkin aku akan turuti kata Ibu. Tapi, semuanya sudah terjadi. Hari ini tepat 22 Desember di Hari Ibu. Setulus hatiku terucap kata mohon maaf kepada Ibu. Semoga di sana Ibu hidup lebih tenang. Maafkan aku, Ibu. ***
Ninik Sugiyanti, Pelajar SMKN 3 Surakarta
0 komentar:
Posting Komentar