Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

Kaidah Pokok Pertama

>> Jumat, 29 Januari 2010

BAB I
LIMA KAIDAH POKOK

Hokum-hukum syarak atau yang biasa disebut fiqh itu, pada dasarnya dapat dikembalikan kepada lima kaidah pokok, yaitu:

1. “ " الأموربمقاصدها 
  “ Segala sesuatu tergantung pada niatnya "

2." اليقين لا يزال بالشك"  
  “ Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan “

3." المشقة تجلب التيسير "  
  “ Keberatan itu bisa membawa kepada mempermudah “

4. " الضرر يزال " 
  “ Madlarat itu dapat dihapus “

5. " العادة محكمة "  
  “ Adat kebiasaan itu bisa ditetapkan “

Kaidah-kaidah ini masing-masing akan diuraikan secara terperinci, sesuai dengan urutannya.
Sedangkan menurut Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam berpendapat bahwa fiqh itu hanya berkisar dan berpusat kepada satu kaidah saja, yakni kaidah:
  جلب المصالح ودرءالمفاسد
  “ Menarik kebaikan dan menolak kerusakan.”

1. KAIDAH PERTAMA " الأموربمقاصدها "
  “ Segala sesuatu tergantung pada niatnya”

A.DASAR KAIDAH
Kaidah ini bersumber dari hadits nabi saw 
  " انماالأعمال بالنيات" 
“ Segala perbuatan itu hanyalah dengan niat “

Menurut ulama ahli tahqiq, hadits ini isinya padat sekali, sehingga seolah-olah sepertiga atau seperempat dari seluruh masalah fiqh telah tercakup dalam hadits ini. Apa sebabnya bisa begitu? Sebab perbuatan/amal manusia itu ada tiga macam, yaitu: 1. Dengan hati 2. Dengan ucapan 3. Dengan tindakan. Dan semua amal yang berhubungan dengan hati tercakup oleh hadits ini. Malahan menurut Imam Syafii, ada 70 bab yang tercakup dalam hadits ini, seperti: wudlu, mandi, qashar, jama’, makmum, imam, sujud tilawah, shadaqah tathawwu’, puasa, I’tikaf, nadzar, wakaf dan sebagainya.

B.NIAT TERMASUK RUKUM ATAU SYARAT?
Ulama berbeda pendapat tentang apakah niat itu termasuk rukun atau syarat: 
a.Segolongan ulama berpendapat, bahwa niat itu termasuk rukun, sebab niat sholat misalnya, adlah termasuk dalam dzat sholat itu sendiri.
b.Ulama lain mengatakan, bahwa niat termasuk syarat, sebab kalau niat termasuk rukun, maka harus pula diniati.jadinya niat diniati.
c.Menurut Imam al-Ghazaly, “diperinci”. Kalau puasa, niat termasuk rukun, kalau sholat niat termasuk syarat.
d.Imam Nawawi dan Rofii berpendapat sebaliknya, bagi sholat niat termasuk rukun, sedangkan bagi puasa niat termasuk syarat.

C.TEMPAT NIAT
Niat itu tidak pada ucapan, melainkan dalam hati. Meskipun demikian, karena gerakan hati itu sulit, maka para alim menganjurkan agar disamping niat dalam hati, juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan, sekedsar untuk menolong gerakan hati. Sebaliknya apabila niat hanya diucapkan di mulut saja, sedangkan hati tidak bergerak, maka niat itu tidak sah, sehingga kalau seseorang terlanjur bersumpah umpanya, padahal di dalam hati, ia tidak ada niat bersumpah, maka ia tidak wajib membayar kaffarat dan tidak berdosa.
Jadi apabila ada perbedaan abtara ucapan dengan bunyi hati, maka yang diperhitungkan adalah bunyi hati. 
Misalnya: Seseorang mengucap “ aku niat sholat fardhu dhuhur”. Sedang dalam hatinya tergerak “ aku niat sholat fardhu ashar “, maka yang jadi tertunaikan adalah sholat ashar.
Hal semacam ini (gerak hati sebagai pegangan) kalau memang masalahnya tidak berhubungan dengan kepentingan sesama manusia. Jika ada hubungannya dengan kepentingan sesame manusia, seperti: ikrar, wasiat, thalaq dan sebagainya, maka yang menjadi pedoman adalah ucapan, sebab kalau gerak hati yang dipegangi, orang akan dengan mudahnya mengingkari apa yang telah tergerak dalam hatinya.

D.WAKTU NIAT
  Ada beberapa ketentuan tentang waktu niat ini:
1.Niat itu harus bersamaan dengan permulaan ibadat, seperti; wudlu, niatnya dilakukan pada waktu membasuh muka. Shalat, niatnya harus bersamaan dengan takbiratul ihram, dan masih banyak contoh lainnya. Hal ini mengecualikan beberapa amal ibadat yang niatnya tidak harus dibarengkan dengan permulaan amalnya, seperti puasa dan zakat.
2.Jika permulaan ibadat itu berupa dzikir, maka berbarengnya niat itu harus bersamaan dengan lengkapnya dzikir itu, Misalnya; shalat, permulaan shalat adalah takbir(allahu akbar). Jadi niatnya harusd berbarengan dengan lengkapnya bacaan “Allahuakbar” dan tidak cukup hanya bersamaan dengan “Allah” atau dengan “Akbar” saja.
Hal demikian tentu sulit bagi orang awam. Karena itu imam haramain dan imam al-ghazaliy memperbolehkan tidak berbarengan seratus persen, bahkan sebagian ulama fiqh berpendapat: niat itu mendahului atau terlambat sedikit dari takbir, boleh.
3.Jika ibadat itu berupa perbuatan maka, niatnya cukup berbarengan dengan permulaan ibadat itu. Hanya saja di sunnahkan untuk selalu mengingat sampai ibadat itu selesai dikerjakan. Umpamanya: wudlu, niatnya cukup dilakukan pada permulaan wudlu (membasuh muka) sedang pada waktu membasuh tangan dan seterusnya, hanya disunahkan untuk selalu ingat, bahwa ia sedang melakukan wudlu.

E.SYARAT SAH NIAT
Syarat sah niat yaitu:
1.Islam
2.Tamyiz, yakni bagi orang islam harus sudah dapat makan, minum, dan mensucikan dirinya sendiri.
3.Harus meyakini apa yang diniati. Misalnya: seseorang melakukan shalat dzuhur, tetapi ia tidak yakin, bahwa sudah masuk waktu dzuhur, maka niatnya batal.
4.Harus tidak ada munafi, yakni hal-hal yang membatalkan niat, seperti: murtad. Termasuk dalam hal ini adalah niat memutus. Umpamanya: berbarengan dengan takbir, seseorang niat mendirikan shalat dzuhur. Tiba-tiba dengan mendadak turun hujan lebat, lalu terlintas dalam hati orang itu “wah bagaimana jemuran saya yah, ah saya batalkan (putus)saja shalat saya.” Maka niat semula menjadi batal.
5.Diperkirakan harus dapat melakukan apa yang diniati, misalnya: dalam bulan rajab, kita telah berniat shalat hari raya, niat kita tidak sah, sebab kita belum tahu dengan pasti apakah nanti bias mengejakannya atau tidak.

F.MAKSUD NIAT
Maksud utama disyariatkannya niat menyertai setiap ibadat, adalah:
1.Untuk membedakan antara ibadat dan pekerjaan/perbuatan biasa, misalnya: antara mandi biasa yang kita lakukan setiap hari, dengan mandi junub. Yang membedakannya adalah niat. Karena itu, amalan ibadat yang tidak serupa dengan amalan biasa, tidak disyariatkan niat, seperti: iman; untuk iman tidak perlu harus niat, sebab tidak ada perbuatan sehari-hari yang menyerupainya. Begitu pula, ibadat yang berupa meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti: meninggalkan zina, minum arak dan sebagainya, menurut sebagian ulama tidak diwajibkan niat, sedangkan sebagian ulama lain, tetap mewajibkannya, namun mereka sepakat tentang sunahnya niat dalam hal ini.
2.Untuk membedakan ibadat yang satu dengan ibadat yang lain. Niat sajalah yang membedakan antara mandi untuk menghadiri jum’atan dengan mandi karena akan ihram.

Selain itu niat pada setiap ibadat mempunyai maksud-maksud tertentu sesuai dengan ibadahyang diniatinya, misalnya:
a.Wudlu: maksud niat adalah untuk menghilangkan hadats, yakni sesuatu yang menjadi sebab haramnya melakukan shalat dan sebagainya.
b.Shalat: niat dimaksudkan untuk memasuki amalan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
c.Haji: niat berarti memasuki suasana, dimana hal-hal yang sebelumya dihalalkan , setelah niat menjadi haram.
d.Puasa: niat dimaksudkan untuk imsak (menahan) di waktu siang hari.
e.Zakat: niat untuk mengeluarkan sebagian daripada harta kekayaan.

G.URAIAN KAIDAH
Kaidah pokok ini sangat luas, oleh sebab itu perlu dibuat patokan-patokan yang lebih terperinci. Di bawah ini akan diberikan beberapa patokan tersebut berikut contohnya.
1.Di dalam sumpah, niat itu dapat mengkhususkan kalimat yang umum, tetapi sebaliknya tidak dapat membuat umum kalimat yang khusus.
Misalnya:
a.Ada orang bersumpah; “Demi Allah saya tidak akan berbicara dengan seseorang”, lalu ia ditanya; “siapa yang kau maksud dengan seseorang itu?”, kalau ia menjawab; yang saya maksud dalam niat saya adlah si fulan”, maka menurut hokum, ia bias di benarkan, sehingga jika ia berbicara denga selain fulan , ia tidak dianggap melanggar sumpah.
b.Sebaliknya kalau ia bersumpah demikian; “Demi allah saya tidak akan kerumah fulan.” Ketika ditanya siapa yang dimaksud, ia menjawab; “yang saya maksud dalam niat adalah (rumah) siapa saja. menurut hokum hal ini tidak bias dibenarkan dan kalau ia singgah kerumah slain rumah si fulan, ia tidak di anggap melanggar sumpah.

2.Maksud lafadz itu tergantung atas niat orang yang melafalkannya
Umpamanya; Seseorang dalam keadaan junub mengucapkan
انا لله وانا اليه را جعون kalau dalam niat itu ia berniat dzikir karena datangnya musibah, hukumnya tidak haram. Tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca al-qur’an, hukumnya haram. Dalam hal ini, di kecualikan kalimat sumpah yang diucapkan di hadapan hakim, sebab kalimat sumpah dihadapan hakim yang diperhitungkan adalah niat hakim. Maka jika seseorang terdakwa bersumpah di hadapan hakim; “Demi Allah saya bersumpah tidak makan harta anak yatim”, meskipun ketika mengucapkannya, ia meniatkan “tidak makan harta” dengan arti yang sebenarnya, namun yang diperhitungkan adalah niat hakim yang mengartikan kata “makan harta” dengan “menggunakan”, sehingga ia di anggap melanggar sumpah apabila ia menggunakan harta itu untuk kepentingannya.
3.Amalan fardlu itu, kadang-kadang dapat berhasil dengan niat sunnah.
Misalnya; Seseorang sedang melakukan tasyahud akhir. Semula ia mempunyai sangkaan, bahwa yang dilakukannya adalah tasyahud awal, lalu pada akhirnya ia ingat, bahwa yang dikerjakan adalah tasyahud akhir maka tasyahudnya tetap sah.
4a. Kalau suatu ibadat sama persis dengan ibadat yang lain, maka di dalam niatnya disyaratkan ta’yin (menetukan).
 Misalnya; shalat dzuhur dan shalat ashar, kedua-duanya sama; jumlah raka’at, sifat kefardluannya, dsb adalah persis. Maka dalam niatnya harus ada ta’yin. Jadi kalau niat iut diucapkan begini; “aku niat shalat fardlu dzuhur”. Kata “dzuhur” harus masuk dalam rangkaian niat (kalau yang sedang dikerjakan adalah shalat dzuhur), tidak cukup hanya; “aku niat shalat fardlu”. Demikian pula jika yang diniatkan shalat ashar, maka kata “ashar” harus diikutkan dalam niat. Berbeda dengan shalat tahiyyatul masjid dengan shalat mutlak umpamanya.
 Memang seolah-olah sama, tetapi sebenarnya tidak sama persis. Shalat tahiyyatul masjid harus dilakukan dalam masjid sedangkan shalat sunnah mutlak tidak. Karena itu, ta’yin tidak syaratkan.
b.Bagi ibadat fardlu, dimana kefardluannya harus dicantumkan dalam niat, maka ta’yin juga harus dicantumkan. Terkecuali tayammum, yang meskipun kefardluan tayammum harus disebut dalam niat, tetapi ta’yinnya tidak wajib.
c.Suatu amal yang tidak disyaratkan ta’yin, tetapi ta’yin itu di cantumkan dan kemudian terjadi kekeliruan, maka amal itu menjadi batal.
Misalnya; 
1.Seseorang hendak makmum shalat,seharusnya cukup dengan niat “makmum” saja, tetapi dalam niatnya, ia menyebutkan bahwa ia niat makmum kepada fulan. Ternyata yang jadi makmum bukan fulan, maka makmumnya menjadi batal.
2.Seseorang hendak menshalati mayyit, seharusnya cukup niat “aku niat shalat atas mayyit ini” baik mayyit itu laki-laki atau perempuan. Tetapi kalau ia niat “aku niat shalat atas mayyit fulan ini”, kemudian ternyata yang dishalati fulanah, maka shalatnya tidak sah.
Namun demikian, ada beberapa masalah yang menyimpang dari patokan ini.misalnya; seseorang mandi dengan niat menghilangkan hadats besar, padahal ia hanya menanggung hadats kecil saja, apabila anggota (yang mestinya dibasuh dalam wudlu) terbasuh semua, maka hadats kecilnya bias hilang (wudlunya sah), meskipun niatnya keliru (yakni menghilangkan hadats besar).
5. Jika kita shalat fardlu, maka wajib menerangkan kefardluannya.
 Jadi bila niat itu dilafalkan, akan berbunyi; “ushallii fardlal….” Sedangkan Ada’ atau qadla’ tidak diharuskan menerangkannya. Bagi ibadat-ibadat puasa, haji dan wudlu tidak wajib menerangkan kefardluan dalam niat.
6.Pada dasarnya mewakilkan niat pada orang lain itu tidak boleh, kecuali niat yang harus di barengkan dengan perbuatan sedang perbuatan itu dapat di wakilkan, seperti; membagikan zakat, memotong korban dan sebagainya.
7.niat itu harus ikhlas (murni), tidak boleh di campuri dengan maksud lain.
Umpamanya; seseorang niat shalat, laluterlintas dalam benaknyamaksud olahraga,maka niatnya tidak sah.
Ada beberapa pengecualian dari patokan ini yakni amal yang maksudnya hanya menyatakan wujudnya amal itu, Misalnya;
Shalat tahiyyatul masjid, maksudnya adalah agar orang yang memasuki masjid jangan duduk dulu, sebelum mengerjakan shalat tahiyyatul masjid. Karena itu kalau seseorang memasuki masjid lalu niat shalat qobliyah dzuhur, sambil meniatkan pula shalat tahiyyatul masjid, maka keduanya (niat) sah. 







 

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP